Sebelas

50 3 0
                                    


Di bawah temaramnya sinar lampu yang redup, seorang wanita tengah berseranggung di atas ranjang. Wajahnya terlihat murung. Menggambarkan sebuah emosi terpendam yang coba ia sembunyikan dari khalayak, termasuk suaminya. Andai saja pemuda itu dapat memahami perasaannya, ya ... andai saja Hanif bisa mengerti. Namun, lagi-lagi pemuda yang sibuk dengan gawainya di meja kerja itu sama sekali tak menghiraukannya terlebih berupaya untuk memahaminya. Yuna terus menatap tajam suaminya. Tanpa terasa air kepiluan secara perlahan runtuh dari pelupuk.

Samar tapi jelas Hanif mendengar suara tangisan Yuna. Dilihatnya gadis itu telah berbaring ke arah samping, seolah tak ingin suaminya mengetahui kondisi wajahnya yang telah dibanjiri air mata. Meski hatinya menolak keras keberadaan Yuna dalam hidupnya, tetapi perasaan iba yang dimilikinya seakan tak kuasa melihat kesedihan sang istri. Hanif segera beringsut ke pembaringan. Walau sebenarnya ia ragu dan ada ketakutan tersendiri muncul dalam benaknya. Hanif mencoba untuk mengalahkan perasaan itu. Ia tidak ingin Yuna terus merasa tersakiti atas sikap dinginnya.

"Kamu kenapa?" tanya Hanif yang kini telah berada satu ranjang dengan Yuna.

Gadis berpiyama itu tetap bungkam. Hanya isak tangis yang masih ia dendangkan. Sementara pemuda di belakangnya justru semakin merasa serba salah. Hanif menarik tubuhnya dan meluruskannya hingga mampu menyentuh sandaran ranjang. Sejenak ia menghela napas, lalu mematikan ponsel yang sejak tadi mengeluarkan cahaya terang dengan iringan nada notifikasi. "Aku minta maaf, ya!" ucapnya kemudian.

"Untuk apa? Nggak ada yang perlu dimaafin."

"Aku tau, kamu nangis pasti karena aku!" tukas Hanif. "Iya, kan?"

"Aku yang salah. Bukan kamu!" sahut Yuna penuh sesal.

Rasa sakit yang Yuna rasakan atas perlakuan Hanif sudah terlalu dalam. Namun, ternyata hidup dalam lingkungan keluarga suaminya membuat kondisi Yuna semakin terpuruk. Seiring dengan tangisannya yang semakin pecah walau tetap ia tahan, peristiwa tadi sore semakin menyisakan luka dalam.

***

Yuna baru saja menyimpan sepeda motornya di ruang samping dekat dengan garasi. Setelahnya ia berniat segera memasuki kamar. Baru saja ia menekan handle pintu kamar, terdengar suara ketukan meja dari arah ruang makan yang kemudian dilanjutkan dengan suara pekikan ibu mertuanya. Terdengar sangat emosi.

"Ibu tau, ini memang salah Ibu! Tapi kamu jangan protes sama Ibu, dong!"

"Terus aku suruh protes sama siapa, Bu? Sama Ayah? Atau sama Mas Hanif?" Kini gantian suara Haning yang terdengar lantang.

Yuna meyakini pasti telah terjadi sesuatu antara ibu mertua dengan adik iparnya. Namun, dirinya ragu untuk mendekat. Jika ini masalah ibu dan anak, artinya ia tidak berhak ikut campur.

"Aku udah pernah bilang ke Ibu. Perempuan itu, kan, pilihan Ibu. Harusnya Ibu bisa nasehatin dia supaya bisa jadi istri sekaligus menantu yang baik di rumah ini!"

Mendengar Hnaing menyinggungnya, membuat Yuna semakin penasaran. Kali ini ia mengambil langkah seribu untuk mendekat ke ruang makan, mencari tahu permasalahan yang sedang dibicarakan oleh seasang ibu dan anak itu. "Ada apa, Bu? Kok, aku denger Ibu sama Haning ribut?"

Haning memasang wajah asamnya. "Kebetulan Mbak Yuna ada di sini. Aku nggak mau basa-basi, Mbak."

Bu Rahmi menggeleng disertai wajah mengiba sebagai syarat agar Haning tak mengatakan apa pun kepada Yuna. Hal itu tentu membuat Haing semakin murka.m "Kenapa, Bu? Ibu mau belain menantu kesayangan Ibu ini?"

"Nggak, Ning. Bukan itu maksud Ibu!"

Kali ini Haning tak menggubris ucapan ibunya. "Mbak Yuna, aku harap ini pertama dan terakhir kalinya aku pesan sama Mbak! Tolong ... tolong tempatkan diri Mbak Yuna di posisi yang bener! Mbak Yuna sadar, kan, kedudukan Mbak Yuna sebagai apa di keluarga ini?"

Sekat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang