Sembilan belas

47 4 0
                                    


Seminggu sudah perubahan pada diri Yuna kentara. Gadis yang terbiasa manja di dalam keluarganya, kini tak lagi sama. Yuna seperti memiliki sebuah tanggung jawab yang besar. Hampir seluruh pekerjaan rumah ia kerjakan. Rasa lelah yang mendera seolah tak dihiraukannya. Ini semua ia lakukan demi mendapatkan hati suaminya. Namun, hal itu justru menimbulkan tanda tanya di benak Hanif. Seperti pagi ini.

"Iya, semua file-nya udah gue kirim ke email lo!" kata Hanif berbicara kepada Yudhi di ujung telepon. Hanif sibuk mengambil berkas yang ada di dalam lemari. Saking terburu-burunya ada kertas yang terjatuh ke lantai. Hanif menungging, berniat akan mengambil kertasnya. Baru saja ia lakukan itu, ada tangan lain yang terlebih dahulu menyambar kertas miliknya. Hanif tercekat. Seorang gadis yang masih menutup kepala dengan handuk berada di hadapannya. Kedua pasang mata saling bertemu. Sejenak ruangan menjadi hening.

"Lain kali kalo kerja jangan buru-buru!" ucap Yuna memecah keheningan.

Yuna lekas mengangsurkan kertas yang dipegangnya kepada Hanif. Laki-laki itu pun menerima dengan ekspresi wajah yang masih cukup tercengang. "Makasih, ya!" ungkapnya lirih seraya terus memperhatikan wajah istrinya yang kali ini terlihat sedikit berbeda.

Melihat ekspresi Hanif, membuat wajah Yuna memerah. Hatinya berdesir halus. Baru kali ini dirinya mendapati Hanif menatapnya begitu lama. Sementara dua insan itu tengah merasakan getaran rasa, suara di ujung telepon genggam Hanif menyadarkan keduanya. Hanif lekas beralih tempat dan kembali fokus pada percakapannya dengan Yudhi.

"Sumpe! Demi apa barusan Mas Hanif natap gue?" Yuna sangat girang. Ia melonjak-lonjak penuh kebahagiaan.

***

Suasana kantor tak begitu ramai. Semua karyawan tengah beristirahat, dan sebagian memilih untuk makan siang di luar. Sementara Hanif dan Yudhi memilih untuk tetap berada di kantor. Ini sudah hari kesekian Yuna membawakan bekal makan siang untuk Hanif. Menu yang sangat sederhana, sambal goreng ikan tawar dan sayuran rebus. Porsinya pun tidak tanggung-tanggung, cukup untuk dibagi berdua dengan Yudhi. Tentu itu membuat Yudhi senang, setidaknya pemuda yang masih melajang di usianya yang cukup matang itu lebih bisa menghemat pengeluarannya. Keduanya menikmati makan siang mereka di meja kerja masing-masing yang masih dalam satu ruangan.

"Thanks ya, Bro, bini lo baik banget udah bawain jatah makan siang buat gue tiap hari," ucap Yudhi yang sedang lahap menyantap makanannya. "Sering-sering aja kayak gini!"

"Ye ... dodol! Bukannya beberapa hari ini juga lo udah makan bekal gue!" gerutu Hanif.

"Iya, iya, lagian si Yuna ngapain juga sih, bawain lo makan siang banyak-banyak? Untung aja ada gue. Coba kalo nggak ada gue, mubazir tuh makanan kebuang!"

Hanif tak menggubris ucapan Yudhi. Agaknya pemuda manis itu benar-benar menikmati suapan demi suapan makanan buatan sang istri. Bukan hanya perangainya saja yang cukup banyak perubahan, rupanya gadis itu juga mulai pandai memasak, begitu kiranya.

"Atau ... jangan-jangan Yuna suka sama gue! Terus ... dia bawain lo makanan lebih Cuma buat modus."

Hanif tercekat hingga sedikit kesakitan menelan makanannya. Ia segera meraih botol air mineral di depannya dan langsung meneguk isinya. Yudhi melihat jelas bagaimana ekspresi sahabatnya. "Kenape lo? Cemburu?"

Hanif mendengus seraya menatap Yudhi dengan tajam. Lalu kembali melanjutkan aktivitasnya. Padahal, ia sendiri telah dibuat bingung atas perangai Yuna beberapa hari terakhir. Diam-diam ia memperhatikan segala perubahan pada diri istrinya. "Gue ngerasa ada yang aneh sama Yuna, Yud."

"Aneh gimana maksud lo?"

Hanif meletakkan sendoknya. "Akhir-akhir ini dia tuh, jadi rajin gitu. Dia juga nggak pernah protes sama apa yang gue lakuin ke dia."

"Lo nggak coba tanya ke dia?"

Hanif menggeleng. Sebenarnya ia pun ingin sekali mengetahui alasan perubahan yang terjadi pada Yuna. Namun, bibirnya terasa kelu untuk berucap. Terlebih menurutnya itu bukanlah urusannya. Akan tetapi cukup menarik perhatiannya. Yuna yang ia kenal egois dan manja, beberapa hari terakhir berubah menjadi sosok yang terkesan lebih dewasa dan tak banyak mengeluh.

***

Langkah Yuna terasa gontai. Lelah mulai menderanya. Sejenak ia rebahkan tubuhnya di ranjang, menatap kosong langit-langit kamar. Ruang itu begitu sunyi. Hanya detak jarum jam yang terdengar di telinga. Perlahan ia menarik napas dalam-dalam, mengatur ritmenya menjadi lebih rileks. Matanya mengerjap kemudian, menoleh ke arah dinding di sisi kirinya. Foto pernikahannya baru saja ia pampang di sana. Senyuman manis terbit di wajahnya. Andai saja pernikahan mereka layaknya pernikahan orang lain yang diliputi kebahagiaan, mungkin foto itu akan terlihat sangat menarik, dan Yuna akan memajangnya di ruang tamu rumah mertuanya, sama seperti foto pernikahan kedua saudara Hanif. Sayangnya, itu hanya khayalan Yuna yang belum menjadi kenyataan.

"Rasanya emang berat, tapi gue yakin gue pasti sanggup, Na! Ya, gue harus kuat ngehadepin ini. Gue akan lakuin semua saran dari Mia." Gadis itu mencoba untuk menyemangati dirinya sendiri.

Derit pintu memecah lamunan Yuna. Seorang pemuda datang dengan wajah yang penuh lelah. Yuna segera menegakkan tubuhnya. "Kok nggak kedengeran suara mobilnya?"

"Masak, sih? Padahal suara mobilku kan, lumayan kencang." Hanif meletakkan tasnya di atas meja kerja, kemudian duduk di kursi guna melepas sepatunya.

"Mau langsung mandi apa mau istirahat dulu?"

"Kayaknya langsung mandi aja, deh. Soalnya badanku gerah banget."

Tanpa banyak bertanya lagi, Yuna bergegas keluar dari dalam kamar. Hanif heran melihat tingkah Yuna yang secara spontan. Namun, ia tak mau ambil pusing. Baginya selagi itu tak merugikannya, terserah Yuna akan melakukan apa saja. Toh selama ini juga Yuna tidak lagi pernah protes atas apa yang dilakukannya.

Hanif sudah berada di kamar mandi. Sebagian pakaiannya pun telah ia tanggalkan. Namun, baru akan membuka pakaian bagian bawahnya, terdengar seruan Yuna sambil mengetuk pintu kamar mandinya.

"Mas! Buka sebentar dong, pintunya!"

Hanif tercekat. "Mau apa?" tanyanya tanpa membuka pintu.

"Aku bawain air panas buat kamu!"

Sejenak Hanif terdiam. Benaknya semakin dibuat heran atas perangai istrinya. Namun, udara yang begitu dingin menghampiri tubuh atasnya.

Daun pintu terbuka lebar. Yuna tercengang menatap Hanif. Setelah sekian bulan ia menjadi istri dari seorang Hanif Akbar, ini kali pertama Yuna melihat suaminya dalam kondisi bertelanjang dada. Sungguh, bentuk tubuh yang sempurna, pikirnya.

Yuna menatap Hanif sangat dalam. Pemuda itu membentangkan senyumnya begitu lebar. Sepasang mata Hanif memancarkan sebuah kehangatan. Wanita itu ingin masuk ke dalam pelukan sang suami.

"Na!" seru Hanif seraya mengibaskan tangan di depan wajah Yuna. Hanif semakin heran atas ekpresi Yuna yang tengah tersenyum-senyum menatapnya. Yuna masih terus tersenyum, hingga akhirnya Hanif memilih untuk menggoyangkan bahu istrinya.

Yuna terbangun dari lamunannya. "Eh iya, Mas!"

"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?"

Yuna tersipu. "Ah, nggak!" Yuna mengangsurkan ember berisi air panas kepada Hanif. "Cuacanya mendung, aku rasa mandi pake air hangat bagus buat kesehatan kamu."

"Terima kasih, ya." Hanif menutup pintu kamar mandi, sementara Yuna berbalik badan, mengingat khayalan yang baru saja terjadi dalam pikirannya. Gadis itu tersipu sendiri. Wajahnya merona penuh bahagia. Andaikan itu bukan khayalan, mungkin saat ini Hanif tak sendirian di dalam ruangan berukuran 2X2 meter itu.

Sekat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang