"Mas!" pekik Haning seraya mengetuk pintu kamar Hanif.
Dengan kondisi mata yang masih sedikit rekat seraya menguap, Hanif membuka daun pintu. "Ada apa?" tanyanya.
"Ini udah sore, Mas. Kata ayah, Mas Hanif disuruh cepet pulang ke Metro!"
Bola mata Hanif membulat sempurna. Ia merasa tidak yakin jika ayahnya yang meminta Haning untuk berbicara seperti itu kepadanya. Hanif cukup dekat dengan lelaki pensiunan TNI itu. Walau sebenarnya ayahnya merupakan sosok yang tegas dan galak, tetapi beliau bukanlah orang yang bisa dengan mudahnya menyakiti perasaan orang lain. Ya, sakit rasanya mendengar ucapan sang adik. Dirinya merasa kehidupannya benar-benar dalam kendali orang lain. Seakan ia tidak dapat menentukan arah hidupnya sendiri. Padahal, kepulangannya siang ini demi untuk menenangkan pikiran.
Hanif segera meraih jaket yang ada di gantungan belakang pintu kamarnya. Wajahnya terlihat sangat kesal. "Bilang sama ibu, lain kali jangan jadiin orang lain sebagai tameng!" ucapnya kepada Haning, lalu berniat segera pergi. Namun, baru dua langkah saja, ia kembali membalik badan. "Dan kamu, jangan pernah mau disuruh berbohong!" titahnya lagi, lalu benar-benar pergi. Sementara Haning masih terpaku di tempatnya. Ia tahu benar jika sang kakak sedang marah. Timbul rasa iba yang begitu dalam di hatinya. "Kasihan Mas Hanif. Dia harus jadi korban keegoisan Ibu!"
Senja perlahan tiba. Langit jingga menghiasi sebagian atap kota. Suasana hiruk-pikuk angkutan umum sudah tak seberapa, digantikan banyaknya kendaraan bermotor yang cukup lumayan ramai. Karena waktu sore merupakan waktu yang tepat bagi sebagian penduduk kota Metro menikmati indahnya kota mereka. Di sepanjang jalan banyak pedagang kaki lima yang membuka stand makanan. Wisata kuliner menjadi tujuan utama masyarakat kota. Seorang pemuda yang mengenakan hoodie berwarna hitam tengah duduk di atas motor yang ia parkirkan tepat di depan pintu gerbang sebuah Universitas Islam Negeri di kota Metro. Kepulan asap ia embuskan dari mulut dan hidungnya. Matanya tertuju lurus ke arah depan, menyaksikan orang-orang di seberang jalan yang tengah asyik makan bersama. Ada yang bersama keluarga, ada pula yang bersama pasangannya. Pemandangan itu mengingatkannya pada peristiwa delapan tahun lalu.
"Kamu mau makan apa?" Sebuah pertanyaan terlontar dari mulut mungil seorang gadis berjilbab ketika memasuki sebuah warung makan sederhana yang ada di sebuah lapangan yang sangat terkenal di kota Metro. Tempat itu dinamakan Lapangan Samber.
"Terserah kamu aja, apa pun aku pasti makan!"
Gadis yang biasa dipanggil Mia itu memesan nasi goreng spesial dan jus jeruk yang menjadi favoritnya. Sambil menunggu pesanan mereka, keduanya tak banyak bicara. Mia bukanlah tipikal perempuan yang cerewet dan mudah berbasa-basi. Hal itulah yang membuatnya berbeda dalam pandangan Hanif.
"Jadi, apa rencana kamu setelah lulus SMA ini, Mi?"
"Belum ada!"
"Kamu nggak pengin kuliah?"
Mia menarik sudut bibirnya. Tatapan matanya beralih kepada pelanggan warung yang duduk di pojoknya. Sempat ia mengembuskan napasnya lirih, kemudian beralih menatap Hanif. "Bukan nggak pengin, sih! Aku cukup sadar diri aja, aku ini cuma anak pedagang kecil yang penghasilannya nggak seberapa."
Dua porsi nasi goreng beserta dua gelas jus jeruk sudah hinggap di meja. Sesaat Hanif tersenyum kepada penjualnya. "Apa nggak sayang kalo kamu cuma lulus SMA doang?" tanyanya lagi.
"Bagi aku ... udah bisa lulus SMA pun udah Alhamdulillah!"
Setelah mengucap kalimat Basmallah, Mia mendaratkan sendok makannya di atas lidah. Itulah sebagian hal kecil yang membedakannya dari gadis lain. Hanif sering merasa terkesima atas perangainya. "Usia Bapakku udah nggak muda lagi. Aku nggak tega kalo masih terus-terusan jadi beban buat Bapak!" lanjut Mia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekat Cinta
RomancePernikahan yang menjadi dambaan Yuna ternyata tak semanis impiannya. Hanif sulit menerimanya sebagai seorang istri lantaran sebuah kesalahan fatal yang pernah ia perbuat. Yuna yang egois harus bersabar untuk mendapatkan cinta suaminya. Mampukah ia b...