ENAM BELAS

56 5 5
                                    


Waktu terus bergulir. Namun, rasa sedih masih menyelimuti hati Yuna. Ingin ia melupakan hal yang ia ketahui semalam. Akan tetapi, pada kenyataannya ia tak mampu untuk melakukan hal itu. Semakin ia berupaya, semakin ia menjadi takut. Takut akan kehilangan Hanif yang masih mencintai Mia.

Sesaat Yuna melirik arlojinya. Waktu menunjukkan pukul satu siang lebih lima menit. Lima belas menit sudah ia duduk di sebuah pujasera yang terletak di Jalan. Ki Hajar Dewantara, Kota Metro, tidak jauh dari kampus tempat dirinya dan Hanif kuliah dulu. Ya, seperti yang Yuna katakan kepada Bu Rahmi, jika siang ini ia ada janji dengan salah seorang temannya. Segelas soda pelangi tersaji di hadapannya. Sesekali ia menyesap seraya memperhatikan ruang sekitarnya yang cukup ramai dengan pengunjung yang rata-rata berusia remaja.

"Assalamu'alaikum!" Suara halus nan lembut menyapa Yuna.

Sepertinya Yuna sangat familiar dengan suara itu. Yuna menoleh ke arah sumber suara. "Wa'alaikumussalam," jawabnya.

Seorang gadis berperawakan tinggi, putih, berpakaian syar'i sambil menenteng tas, berdiri di sudut Yuna seraya melemparkan senyum kepadanya. Yuna segera mempersilakannya untuk duduk. Sesaat tercipta sebuah kecanggungan yang cukup membuat keduanya salah tingkah.

Ya, sembilan tahun sudah keduanya tak pernah bersua. Setelah banyak permasalahan yang cukup rumit terjadi di antara mereka. Rasanya sungguh aneh, dulu mereka akrab. Tapi sekarang, mereka saling jauh. Gadis berlesung pipi itu memesan white coffee ice.

"Kamu nggak mau pesen makan?" tanya Yuna masih dengan ekspresi sedikit canggung.

"Aku kenyang," sahut gadis bermata madu. "Kebetulan tadi dari rumah udah makan," imbuhnya seraya memegangi perutnya yang rata. "Oya, kamu apa kabar?"

"Alhamdulillah, aku baik."

Sesaat keduanya terdiam. Yuna bingung harus berkata apa. Pertemanan yang mereka jalin sejak lima belas tahun lalu, seolah tak menyatakan mereka sudah berkenalan sejak lama.

"Ehm ... kamu nge-DM aku, dan ngajakin ketemuan buat apa?" tanya wanita yang usianya lebih muda satu tahun dari Yuna.

"Aku ..." Yuna terdengar ragu akan berucap. Sementara gadis di hadapannya sangat menanti jawabannya. "Aku mau minta maaf sama kamu, Mi!" ucapnya lebih cepat kemudian.

Mia tercekat. Matanya membulat sempurna. Sepertinya ia mengerti kata maaf yang dimaksud oleh Yuna.

***

Sembilan tahun yang lalu.

Seorang gadis yang masih mengenakan seragam SMA, duduk dalam sebuah ruang tamu di rumah seorang anggota Tentara Nasional Indonesia. Matanya mengedar ke setiap ruas dinding yang dibalut dengan cat berwarna biru dikombinasikan dengan warna putih. Terlihat sangat indah. Bagi Mia rumah itu cukup mewah, dibandingkan dengan rumahnya yang ada di desa.

Sebuah foto keluarga berukuran besar terpampang jelas di dinding yang berada tepat di belakang sofa jaguar berwarna cokelat kehitaman. Sesekali ia tersenyum. Sungguh keluarga yang sangat lengkap sepasang orang tua yang berwibawa, tiga orang putera dan seorang puteri.

Langkah dua orang terdengar jelas mendekat ke ruang tamu. Mia segera menundukkan wajahnya. Tanpa berani menatap, Mia mengetahui jika kedua orang itu adalah Hanif dan ibunya.

"Bu, kenalin ini Mia!" ucap Hanif bersemangat.

Mia bangkit dan memberanikan diri untuk memberi hormat kepada Bu Rahmi. Diciumnya dengan takzim punggung tangan wanita yang telah melahirkan Hanif. Lalu ia kembali ke posisinya seperti semula. Bu Rahmi duduk tepat di sofa seberang Mia. Sedangkan Hanif mengambil posisi di samping gadis berjilbab putih itu. Sesegera mungkin Mia menggeser posisinya menjadi sedikit lebih jauh dari Hanif.

Sekat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang