Enam

57 4 0
                                    


Pasar pagi kota Metro begitu riuh dengan suara para pedagang dan pembeli. Terjadi banyak transaksi yang berisikan negosiasi perkara harga. Puluhan truk pengangkut sayuran berhenti di badan jalan, sementara para tengkulak merubunginya. Waktu masih terlalu pagi. Bahkan, arunika pun baru saja tampak. Namun, perempuan berusia dua puluh lima tahun itu telah berada di pasar. Ini untuk pertama kalinya Yuna pergi berbelanja sayur. Yup, seumur hidupnya hanya ada menikmati tanpa berupaya. Walau sebenarnya sang mama tak pernah memanjakannya, tetapi beliau pun tak pernah memaksa sang putri untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Awalnya Yuna merasa tak yakin akan berbelanja di tempat itu. Sempat terpikir di benaknya untuk pergi ke swalayan saja. Di sana pasti dirinya tidak akan tertipu masalah harga. Lagi-lagi hal ini dikarenakan ia tak ingin pusing tawar menawar. Namun, setelah mendapatkan uang belanja dari ibu mertua, agaknya uang itu tidak akan cukup jika dibelanjakan di pasar modern. Kemungkinan hanya akan mendapat sebagian bahan pokok yang ada di daftar belanjaannya. Dengan diawali helaan napas yang lumayan panjang, kakinya melangkah memasuki area pasar yang luasnya nyaris mencapai satu kilometer persegi. Satu demi satu bahan makanan ia cari dan beli. Hingga akhirnya, tanpa terasa matahari telah nampak. Sejenak ia melihat arlojinya.

"Astaga! Udah hampir jam tujuh!" ucapnya sedikit terkejut. "Aku harus cepet-cepet sampe di rumah!"

Yuna kembali teringat akan satu hal. Dia tak mungkin mampu menyiapkan sarapan untuk keluarga di rumah. Karena ia harus pergi mengajar. Permohonan cutinya guna mempersiapkan pernikahan telah berakhir. Sebuah keputusan diambilnya dengan mendadak. Yuna mengambil jalan pintas, yaitu membeli sayur matang di Bu Marni, tukang sayur langganan mamanya.

"Bu, ada sayur apa aja?" tanyanya.

Bu Marni yang tengah sibuk melayani pembeli lain, seketika semringah mendapati Yuna berada di hadapannya. "Ya ampun, Mbak Yuna! Monggo, Mbak, dipilih-pilih. Ini ada sayur nangka, sayur daun singkong, sambal goreng ikan, semur jengkol juga ada, Mbak!"

Yuna agak sedikit bingung hendak membeli sayur yang mana. Istri Hanif itu belum begitu paham akan selera makanan keluarga barunya. Yang ia ketahui hanya makanan favorit suaminya, yaitu bakso. Matanya mengedar ke meja jualan Bu Marni. "Saya beli semua aja deh, Bu!"

Tanpa berpikir panjang, Bu Marni segera membungkus keseluruhan pesanan Yuna. "Ini, Mbak!" ucapnya seraya menyerahkan kantung plastik berisi aneka macam sayur matang kepada Yuna.

"Berapa, Bu?"

"Tiga puluh lima ribu, Mbak!"

Yuna menyerahkan dua lembar uang dua puluh ribu-an kepada si penjual sayur. Tanpa menunggu kembaliannya, perempuan itu segera meninggalkan lokasi dagang Bu Marni.

***

Suasana di rumah begitu hening. Hanya ada gemericik suara air dari kran sink di dapur. Agaknya menjelang siang itu Bu Rahmi tengah mencuci sayuran yang akan ia olah untuk keluarganya. Seorang gadis berseragam serba putih dilengkapi dengan jilbab berwarna serupa masuk dari arah ruang depan. Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu menyempatkan membuka tudung saji di ruang makan. Hanya ada sedikit sisa sayur daun singkong dan separuh badan sambal goreng ikan.

"Cuma ini, Bu, makanannya?" tanya Haning seraya memperhatikan isi meja makannya.

"Iya, Han!" sahut Bu Rahmi. "Ibu baru mau masak!" imbuhnya seraya meletakkan sayuran yang sudah ia cuci di dekat kompor.

"Baru mau masak?" tanya Haning lagi diiringi rasa keterkejutannya. "Berarti ... makanan ini dapet beli?"

Bu Rahmi mengambil napas dan menghampiri sang putri bungsu. "Mbakmu nggak sempet masak! Dia buru-buru mau berangkat ngajar!"

Haning menutup kembali tudung sajinya. Matanya memerah, menyiratkan sebuah kemarahan yang terpendam. "Bu, besok lagi tolong sampein ke Mbak Yuna, ya! Dia udah jadi seorang istri, harusnya dia bisa mengatur waktu!" ucapnya lalu pergi.

Bu Rahmi tertegun menatap kepergian putrinya. Betapa ia sangat mengetahui bagaimana Haning yang sangat menentang keras keinginannya menjadikan Yuna sebagai menantu. Bukan karena gadis itu membenci Yuna. Melainkan karena adik Hanif itu mengetahui dengan persis bagaimana perasaan kakaknya. Sebulan sebelum pernikahan Hanif dilangsungkan, terjadi perdebatan sengit antara dirinya dan sang putri.

"Udah, nggak usah dipikirin ucapan Haning!" sosok laki-laki yang masih memiliki tubuh kekar meskipun usianya telah senja secara tiba-tiba datang dari arah pintu samping dapur, tepatnya dari garasi. "Kalo Ibu pikirin omongannya Haning tadi, yang ada darah tinggi Ibu bisa kumat!" lanjutnya.

"Apa dengan menikahkan Hanif dan Yuna itu sebuah kesalahan besar ya, Yah?" tanya Bu Rahmi yang masih setengah tercenung.

Pak Danu tersenyum lemah. Ditepuknya  bahu sang istri dengan pelan. "Udah ... Nggak ada gunanya Ibu menyesali yang udah terjadi!"

"Jadi, menurut Ayah ini salah Ibu? Gitu?" cecar Bu Rahmi yang merasa terpojok atas ucapan suaminya.

"Ayah nggak lagi nyalahin Ibu!" sahut Pak Danu lembut. "Dari awal ... Hanif udah merasa keberatan dengan rencana perjodohan itu, tapi Ibu terus memaksa. Sementara Haning, dia tau persis gimana perasaan kakaknya!"

"Tapi niat Ibu kan, baik, Yah!" tegas Bu Rahmi. "Ibu cuma mau anak-anak Ibu bisa ngedapetin jodoh yang layak, yang setara dengan mereka!"

Bu Rahmi begitu keukeh atas pendapatnya. Hal itulah yang selalu ia terapkan pada dirinya dan anak-anaknya. Menurutnya, menikahi orang yang berpendidikan dan memiliki pekerjaan akan memudahkan jalan hidup. Pengalamannya selalu dijadikan pelajaran. Ia tak ingin rumah tangga anak-anaknya sama seperti rumah tangganya.

***

Udara panas cukup mendukung situasi di dalam rumah yang semakin pengap lantaran gejolak rasa yang tertolak oleh keadaan. Seorang ibu dan anak ketiganya saling menatap tajam. Sementara seorang putrinnya lagi hanya terpaku di ambang pintu kamarnya yang menghadap langsung ke ruang tengah.

"Berkali-kali Ibu bilang ... Ibu mau kamu cari perempuan yang punya latar belakang dan pendidikan yang bagus!"

"Walaupun Mia nggak kuliah, tapi dia cukup pintar kok, Bu!"

"Pinter aja nggak cukup, Nif!" tukas Bu Rahmi. "Pinter, kalo cuma jadi pengangguran sama aja bohong!"

Bu Rahmi terus mengoceh. Sementara kedua anaknya terus terdiam. "Contohnya Ibu! Dulu ... ibu kepengen sekolah guru, tapi eyangmu nggak mendukung. Jadinya ya kayak gini, nganggur dan nggak bisa apa-apa!"

"Apa menurut Ibu pendidikan tinggi dan pekerjaan itu bisa menjamin nasib seseorang bakalan bagus?" tanya Hanif sedikit menentang.

Bu Rahmi tercekat. Tak pernah ia duga jika Hanif akan mempertanyakan hal seperti itu kepadanya. Putranya mulai berani, begitu pikirnya. "Ya, Ibu yakin itu!"

"Kalo Ibu berkaca dari pengalaman Ibu sendiri, harusnya Ibu bisa menempatkan Mia di posisi Ibu!" tuntut Hanif. "Ibu yang cuma mengandalkan pekerjaan Ayah aja bisa menyekolahkan kami hingga kami bisa punya pekerjaan yang bagus. Apa Ibu nggak yakin kalo Mia juga bisa kayak Ibu?"

"Ibu nggak mau anak-anak Ibu mengalami kesulitan yang pernah Ibu dan Ayah rasakan." Bu Rahmi bangkit dari duduknya, berniat untuk segera meninggalkan percakapan yang dirasanya mulai menyesakkan dada. Namun, sejenak ia urungkan niatnya. "Dan satu lagi, Ibu nggak mau anak-anak Ibu menikahi orang yang bebet bobotnya keluarganya nggak sepadan sama keluarga kita!" ucapnya lalu pergi.

***

"Na! Kamu udah pulang?"

Yuna baru saja meletakkan sepatu kerjanya, bahkan pakaiannya kerjanya pun belum sempat ia tanggalkan, tetapi suara wanita paruh baya itu sudah menyerunya dari balik pintu kamar. "Iya, Bu!" sahutnya seraya membuka pintu.

"Kebetulan sekali. Ibu mau bicara sama kamu!"

Yuna mengangguk seraya tersenyum lemah. Tatapan serius yang terpancar dari netra sang ibu mertua telah menciptakan rasa penasaran di benaknya.  

Sekat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang