Sembilan

41 1 0
                                    


Langit malam begitu muram. Tak ada sedikitpun bintang yang berpendar di atas sana. Bahkan, rembulan juga perlahan mulai menggelapkan wajahnya seiring pergeseran awan pekat yang semakin menenggelamkan sinarnya. Yuna masih terjaga. Ia tak dapat memejamkan mata walau hanya sekejap saja. Pikirannya melayang begitu sangat jauh. Hingga tepat satu bulan hari pernikahannya, Hanif masih belum bersedia menjamahnya. Terkadang ia berpikir, rumah tangga seperti apa yang tengah ia jalani. Atau ... apakah ini yang disebut rumah tangga. Hanya satu yang membutuhkan, sementara yang lainnya tidak. Dilihatnya jam weker di atas nakas sudah menunjukkan pukul 02.00 dinihari. Yuna beringsut dari tempat tidurnya, berpindah posisi duduk di sisi suaminya yang begitu pulas tertidur di lantai beralaskan ambal.

"Kamu, laki-laki yang kucintai, sampai kapan kamu akan memperlakukanku seperti ini?" ucap Yuna lirih seraya menatap dalam wajah Hanif.

Wajah itu terlalu memesona. Membuat Yuna terkesima atas ketampanan yang dimiliki suaminya. Ingin rasanya ia membangunkan Hanif dan memintanya untuk berpindah ke ranjang tidur. Sungguh cuaca yang begitu dingin membuat Yuna tak tega melihat sang suami tidur meringkuk di lantai. Namun, rasa takutnya seolah mengingatkan bahwa pria itu pasti akan semakin marah jika ia menyentuhnya. Yuna mengambil selimut tebal dan lekas menyelimuti suaminya. Tanpa disadari Yuna, setelah ia kembali berbaring di ranjang, Hanif membuka mata. Rupanya ia menyadari perbuatan istrinya.

***

Tiga porsi mie instant rebus telah tersedia di atas meja makan. Cuaca yang masih kurang bersahabat membuat Yuna ingin mengkonsumsi makanan yang hangat dan menyegarkan.

"Pagi-pagi gini makan mie instant! Yang bener aja?" Mata Haning membulat sempurna seiring rasa kecewanya yang tiba-tiba muncul.

"Emangnya kenapa?" tanya Yuna sedikit menantang. "Rasanya enak kok! Bener kan, Mas?" lanjutnya beralih kepada Hanif.

"Kita makan seadanya ya, Han!" saran Hanif tanpa menoleh sedikit pun kepada Haning yang masih berdiri di sampingnya.

"Nggak nafsu!" sahut Haning singkat lalu pergi meninggalkan Hanif dan Yuna.

Yuna merasa terpancing emosi atas sikap Haning yang menurutnya kasar. "Heran deh, sama adikmu itu! Aku salah apa sih, sama dia?"

"Kamu nggak salah apa-apa. Dia Cuma nggak suka makan junkfood! Harap maklum, dia kan, orang kesehatan," tutur Hanif mencoba menenangkan Yuna.

Kali ini Yuna menerima penjelasan Hanif. Meskipun pagi ini hatinya merasa dongkol atas sikap si adik ipar, setidaknya sikap Hanif sedikit ada perubahan. Buktinya pemuda itu sudi untuk menikmati sarapan satu meja dengannya, walau hanya menu mie instant yang ia suguhkan.

***

Rintik hujan mengguyur kota Metro sejak malam hari. Jalanan kota sedikit licin. Dengan penuh kehati-hatian Hanif menyetir motornya. Gadis berseragam serba putih terpaksa harus menebeng kakaknya demi sampai di tempat kerja lantaran ban sepeda motor miliknya bocor. Pelannya laju kendaraan Hanif, membuat Haning memiliki kesempatan untuk berbincang dengan sang kakak mengenai si kakak ipar.

"Mas!"

"Hmm."

"Apa Mas nggak menyesal menerima perjodohan itu?" selidik Haning.

"Buat apa disesali sih, Han? Tujuannya kan, buat nyenengin Ibu!"

"Nyenengin Ibu emang kewajiban kita, tapi apa mesti dengan mengorbankan kebahagian Mas Hanif sendiri?"

Ucapan Haning sedikit mendalam. Sejenak Hanif menghela napas panjang. Tatapannya tetap fokus kepada jalanan yang semakin siang semakin ramai dengan lalu-lalang kendaraan orang-orang yang akan sibuk dengan segala bentuk aktivitasnya.

"Mas! Kok diam aja, sih?" tanya Haning sedikit memekik.

"Bagi Mas, kebahagiaan orang tua itu yang paling utama, Han!"

"Terus gimana sama kebahagiaan Mas sendiri? Apa Mas sanggup menerima kondisi Mbak Yuna yang egois? Setiap hari Cuma bisa beli bakso dan mie instant buat suaminya!" Kali ini Haning sedikit emosi. Dirinya merasa tidak terima perlakuan Yuna kepada saudaranya. "Aku yang masih gadis aja mikir gimana caranya orang tuaku bisa konsumsi makanan yang sehat, eh dia malah seenaknya kasih makan suaminya makanan sembarangan!" lanjutnya makin senewen.

Tanpa terasa keduanya telah sampai di depan pintu gerbang sebuah rumah sakit swasta di kota Metro barat yang warna gedungnya didominasi dengan warna putih. Haning segera turun dari boncengan motor Hanif. Tak lupa ia juga melepas helm-nya. "Menurutku ... Mbak Yuna bukan orang yang tepat untuk dijadikan istri oleh Mas Hanif!" ucap Haning seraya menyerahkan helm-nya kepada Hanif.

"Sebenernya dia orang yang baik. Kamu aja yang belum mengenalnya!" tutur Hanif sedikit membela Yuna.

"Mas aja masih terus mencoba mengenalnya, gimana bisa Mas bilang dia orang baik?" ungkap Haning yang kemudian berlalu pergi memasuki area gedung rumah sakit.

Hanif tertegun. Apa yang dikatakan adiknya memanglah benar. Meskipun ia sudah berteman dengan Yuna selama hampir tiga belas tahun lamanya, tetapi baru delapan tahun terakhir ia mencoba mengenalnya lebih dalam lagi. Namun, ternyata waktu delapan tahun itu masih belum cukup bagi Hanif untuk bisa menerima Yuna. Kebaikan yang Yuna tampilkan di hadapannya, masih belum dapat meluruhkan rasa sakit yang pernah gadis itu torehkan untuknya dan Mia. 

Sekat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang