Dua puluh

51 4 0
                                    


"Akhir-akhir ini ... Ibu perhatiin kayaknya kamu mulai deket sama Yuna?"

Pertanyaan sederhana itu terdengar seperti sedang meledek Hanif. Sejenak Hanif meletakkan barbel berukuran 5kg di lantai beranda, lalu meneguk air mineral yang ada di depannya. Tampak jelas ia begitu haus setelah banyak mengeluarkan keringat lantaran olahraga paginya. "Itu perasaan Ibu aja," sahutnya kemudian.

Bu Rahmi membelalak. Rasa senangnya yang sudah tumbuh sejak beberapa waktu lalu lantaran melihat sang putra mulai dekat dengan istrinya seketika mengendur. "Kamu Cuma pura-pura, Nif?"

Hanif menarik napas panjang. Sejenak ia terdiam seraya memfokuskan netra ke arah jalanan yang ramai dengan hilir mudik masyarakat desa. "Nggak ada yang pura-pura, Bu," ucapnya kemudian seraya beralih ke sang ibunda. "Pernikahan ini bukan pura-pura. Perasaanku juga bukan pura-pura."

"Ibu nggak banyak berharap, Nif. Ibu Cuma pengen kamu bisa baikan sama Yuna dan membuka lembaran baru."

Bu Rahmi bangkit dari duduknya, dan memilih untuk masuk ke dalam rumah. Ada kekecewaan yang kembali bersemi dalam hati Bu Rahmi. Patah arang terhadap diri sendiri, begitu yang ia rasakan.

"Bu, Ibu kenapa?" tanya Haning yang tanpa sengaja berpapasan dengan ibunya di pintu utama rumah mereka. Sejenak Bu Rahmi menghentikan langkahnya, menatap si putri bungsu. Haning dapat melihat dengan jelas kesedihan yang terpancar dari wajah Bu Rahmi. Matanya berkaca-kaca melambangkan ada air yang tertahan di sana. Tanpa berkata apa pun, Bu Rahmi masuk ke dalam. Sementara Haning lekas mencoba mencari tahu dari sang kakak.

"Ibu kenapa, Mas?"

Hanif tak menjawab. Pemuda itu justru kembali melanjutkan aktivitas olahraganya. Haning menatapnya seraya bersedekap. Sempat ia mendengus dan Hanif mendengarnya. "Ibu bilang Mas udah deket sama Yuna," kata Hanif.

Haning menerbitkan senyumannya. "Bagus, dong! Emang bener, kan. Terus kenapa Ibu kelihatannya sedih gitu?"

"Karena Mas ngerasanya biasa aja."

"Mas, Mbak Yuna itu kelihatan banget loh, usahanya buat ngambil hati Mas Hanif!" ujar Haning. "Apa Mas nggak pengen coba untuk bisa menerima dia?"

Hanif membelalak. Ia kembali menghentikan kegiatannya. "Mas juga lagi coba." Kembali memainkan barbel-nya.

"Aku rasa ... bukan waktunya buat coba-coba lagi, Mas. Baiknya Mas dan Mbak Yuna bisa ngejalanin rumah tangga yang lumrah." Haning mengambil posisi duduk di tepian lantai beranda. "Mas Hasan sama Mas Hanung aja bisa ngejalanin rumah tangga mereka, kenapa Mas Hanif nggak?" ucapnya kemudian seraya menatap dalam kakaknya.

Sebuah kendaraan roda dua datang memasuki garasi rumah. Seorang wanita berperawakan mungil dan memakai jilbab serut turun dan membuka helm-nya. Setelahnya ia mengambil kantong plastik yang ia gantung tepat di tengah bagian bawah kemudi motornya.

Yuna terlihat repot lantaran menjinjing dua kantong plastik yang berukuran cukup besar dan berat. Haning memberi kode kepada sang kakak sebagai isyarat agar Hanif bisa membantu istrinya.

"Sini aku bawain masuk!" Hanif mengambil alih kedua kantong plastik yang dipegang Yuna, dan segera membawanya masuk ke dalam rumah melalui pintu samping garasi. Gadis itu tersenyum menatap punggung pemuda yang hanya mengenakan kaos singlet. Hatinya bertambah bahagia. Berharap kedepannya hubungannya dengan sang suami akan terus membaik.

***

Hanif meletakkan kantong belanjaan Yuna di meja dapur. Dari arah belakang Yuna datang dan langsung melingkarkan kedua tangannya di pinggang Hanif. Ia juga membenamkan wajahnya di punggung sang suami. Hanif terkejut. Dirinya berniat melepaskan tangan Yuna.

"Jangan, Mas!" cegah Yuna ketika tangan Hanif hendak melepaskan kaitan tangannya. Hanif pun menurut. "Tolong biarin aku untuk menyentuh apa yang seharusnya menjadi milikku!"

Hanif diam saja. Ia menarik napas panjang seraya mendongak. Rasa risih sebelumnya perlahan mulai menghilang. Tak ada alasan baginya untuk menolak permintaan sang istri.

"Aku Cuma pengen peluk kamu aja. Nggak lebih!"

Yuna memejamkan matanya seraya menarik napas dalam-dalam. Hasratnya sungguh menggebu. Ia disergap rasa ketertarikan yang cukup tinggi. Bahkan Yuna sama sekali tak memedulikan aroma peluh yang sudah membasahi tubuh suaminya sejak pagi.

Hampir lima menit sudah pinggang Hanif dalam dekapan istrinya. Pria itu menarik napas dan mencoba melepaskan tangan Yuna secara perlahan tanpa ada larangan lagi dari si wanita yang berada di belakangnya. Kemudian Hnaif memutar badannya 180 derajat, tepat menghadap Yuna. Didapatinya gadis itu mengeluarkan buliran air mata. Entah sejak kapan Yuna menangis, mungkin sejak pertama memeluknya. Entahlah. Yang pasti kali ini Yuna berhasil menumbuhkan perasaan iba di hati sang suami.

Perlahan Hanif mengangkat dagu Yuna. Tatapan keduanya saling bertemu. Ada cinta yang besar terpancar dari sorot mata Yuna. Sekalipun Hanif belum dapat mencintainya, tapi Yuna melihat ada kehangatan di mata suaminya yang justru meneduhkan perasaannya. "Kamu kenapa nangis? Apa hari ini lagi-lagi aku bikin kamu sakit?" tanya Hanif seraya menyeka air mata Yuna.

Yuna begitu menikmati usapan demi usapan ibu jari Hanif yang melekat di pipinya. "Justru karena aku lagi bahagia, Mas."

"Kenapa?"

"Hari ini kamu begitu hangat ke aku."

"Nggak ada salahnya kan, kalo kita sama-sama bisa mencoba? Kalo kamu bisa merubah diri untuk bisa jadi istri dan menantu yang baik, kenapa aku nggak?"

"Yakin, kamu bener-benar mau menerimaku?" selidik Yuna.

"Aku akan berusaha," sahut Hanif meskipun dia sendiri masih ragu.

Hati Yuna berbunga-bunga. Bagaimana tidak? Pemuda yang selama ini ia cintai begitu dingin, secara perlahan mulai bersikap hangat dan bersedia menerima keberadaannya. Sepertinya saran dari Mia tempo hari sangat membantunya. Hanya saja ada segelintir kekecewaan yang Yuna rasakan. Mengapa mesti Mia yang bisa memahami sifat Hanif? Mengapa bukan dirinya? Ah ... rasanya percuma jika ia baru menyesali hal itu. Setidaknya sekarang ia mulai belajar memahami segalanya tentang sang suami.

Yuna kembali melingkarkan tangannya di pinggang Hanif, kali ini lebih ketat daripada sebelumnya. Pemuda itu tak dapat mengelak. Kini ia justru membalas pelukan Yuna dengan canggung sambil mengelus lembut kepalanya.

"Aku janji, aku bakalan menebus semua kesalahanku dengan jadi istri yang baik buat kamu," ujar Yuna lirih seraya membenamkan pipinya ke dada Hanif hingga telinganya mampu mendengar detak jantung si arsitek muda. 

Sekat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang