Dua puluh dua

62 3 0
                                    


Pekatnya awan sedikitpun tak dihiraukan oleh Yuna. Gadis itu pergi menembus rintik yang menimbulkan petrikor hingga lenyap. Setelah semua pekerjaannya selesai, Yuna sengaja bergegas pergi. Sepertinya ia butuh menenangkan diri.

Deru suara kendaraan roda dua terdengar hingga di dalam rumah. Bu Ninik yang tengah sibuk di dapur lekas keluar, menilik seseorang yang tiba di rumahnya. Tampak Yuna tengah melepas jas hujannya. Wajahnya basah sehingga Bu Ninik tak mengenali jika sang putri telah menangis di sepanjang jalan dari rumah mertuanya hingga sampai di rumah orang tuanya. Tubuh Yuna menggigil.

"Kok ujan-ujanan sih, Na!" Bu Ninik terlihat khawatir.

Yuna tersenyum getir. Kemudian ia menghambur kepada sang mama. Menangis sejadi-jadinya dalam pelukan wanita itu. Bu Ninik cemas. Ada apa dengan sang putri? Apa sesuatu yang ia pikirkan benar-benar sedang terjadi? Benaknya dipenuhi oleh banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab meski hanya satu.

***

Bu Ninik membuatkan teh hangat untuk putri sulungnya. Sedangkan Yuna masih duduk tercenung di meja makan.

"Kamu ada masalah sama Hanif, ya?"

Yuna beralih menatap mamanya. Kesedihan masih terpancar dari matanya yang cekung. Ingin sekali rasanya ia menumpahkan isi hatinya kepada Bu Ninik. Namun, ingatannya beralih kepada pesan Mia, jika ia tak boleh berbicara kepada siapa pun, termasuk orang tua kandungnya. "Nggak, Ma!"

Bu Ninik menghela napas panjang, dan menggenggam jemari sang putri. "Kalo kamu nggak mau cerita, Mama juga nggak akan memaksa."

"Ma, malem ini aku boleh kan, nginap di sini?"

"Asal Hanif ngijinin kamu buat nginap, Mama sih nggak masalah!"

Yuna memasang wajah penuh kekecewaan. "Kenapa mesti dapet ijin dari Mas Hnaif sih, Ma? Aku kan, nginapnya di rumah Mama. Bukan di rumah orang lain!"

"Mama senang kalo kamu mau nginap di sini. Tapi, kamu tetap harus ijin sama suami kamu dulu."

Yuna terdiam menekuri ujung kaki. Rasanya berat jika ia harus berbicara dengan Hanif. Namun, ucapan Bu Ninik yang santai tetap terkesan memaksa baginya.

"Kalo kamu nggak mau ijin sama Hanif, biar Mama aja ya, yang bicara sama dia!"

"Tapi, Ma __!" Yuna mencengkeram lembut jemari mamanya.

"Udah, kamu tenang aja. Mama nggak akan tanya-tanya tentang masalah kalian, kok!"

Ada rasa lega menyerang Yuna. Ia paham jika sang mama sedang mengkhawatirkannya. Namun, dirinya masih mengingat pesan dari Mia. Seorang istri harus bisa menjaga marwah suaminya. Toh, selama ini pun Hanif tak pernah barang sekalipun perkara rumah tangga mereka kepada kedua orang tuanya. Meski mereka tahu jika rumah tangga anaknya tak pernah baik-baik saja.

***

Keheningan kembali menerpa rumah Pak Danu. Tak ada canda dan tawa yang beberapa hari terakhir menghiasi kediaman keluarga Hanif. Hanya derik jangkrik dari pekarangan kosong di sisi kiri rumah menjadi penggantinya. Hanif tercenung di beranda. Pak Danu datang menghampirinya sambil membawa secangkir kopi pahit kesukaannya.

"Ke mana istrimu?"

"Nginap di rumah mamanya."

"Kamu nggak ikut nginap di sana?"

"Nggak, Yah. Kami butuh waktu buat sendiri."

Pak Danu meletakkan cangkir kopinya di atas meja. Lalu ia mendaratkan bokong di salah satu kursi yang terletak di sisi meja, tepat di luar jendela kaca rumahnya.

Sekat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang