Empat Belas

41 5 0
                                    


Langit mengabu seiring angin kencang yang menggoyangkan ranting dedaunan pohon-pohon besar penghias jalanan kota. Hanif segera membuang puntung rokok dan menggilasnya dengan ujung alas kakinya. Lalu meraih bola di sisinya, kemudian setengah berlari menuju ke tengah lantai berbentuk kotak dan kedua sisnya memiliki gawang bola yang menggantung pada tiang besi. Ya, pertengkaran yang cukup sengit tadi membuat Hanif enggan berada di rumah. Ia memilih untuk pergi bermain basket di sebuah lapangan yang ada di barat kota Metro. Sepertinya rasa kesal itu masih terus mendera hatinya, sehingga ia tak memedulikan rintik yang mulai menyentuh kulit. Dalam benaknya bayangan masalalu terus menghinggapi. Bagaimana ia teringat wajah Mia yang dipenuhi buliran air mata lantaran penolakan keras dari ibunya.

Hanif terus meng-drible bola dengan kecepatan penuh lalu memasukkannya ke dalam ring hingga berkali-kali. Peluh membasahi kening dan tubuhnya. Cuaca yang dingin seolah tak dapat mendinginkan pikirannya. Hingga akhirnya tubuhnya lemas dan tumbang di tengah lapangan. Hanif berlutut, lalu tertentang menghadap langit. Hujan yang turun semakin deras, perlahan menghapus lelehah air matanya.

***

"Udah malem gini, Mas Hanif belum juga pulang, Yah!" Haning sangat mencemaskan saudaranya. Rupanya ia mengetahui jika sang kakak pergi dari rumah. Bahkan, Haning sempat mendengar pertikaian antara Hanif dan Yuna petang tadi.

"Palingan juga dia pergi ke rumah Yudhi!" Lelaki paruh baya itu terlihat santai. Sedikit pun Pak Danu tidak merasa khawatir. Menurutnya anak lelaki itu bisa menjaga dirinya sendiri.

"Iya kalo beneran tempat Mas Yudhi, kalo nggak? Mas Hanif itu kan, lagi puyeng, Yah! Kalo dia nekad berbuat sesuatu yang nggak kita inginkan gimana?"

"Udah, kamu tenang aja! Masmu itu bukan orang yang mudah berpikir pendek!" ujar Pak Danu menenangkan putri bungsunya. Sementara di luar hujan semakin lebat. Sesekali Haning masih terus mengintip ke arah luar dari balik jendela kaca ruang tamunya.

***

Kumandang adzan Subuh menggema ke telinga pemuda yang tergeletak di atas ranjang, di dalam ruangan yang asing baginya. Perlahan menyadarkannya dan ia mulai membuka mata. Ya, kesedihan dan kesakitannya telah membawanya ke ruang hampa. Di mana ia merasa sendiri di tengah keramaian kota dan suara hujan serta angin. Nyaris semalaman Hanif tidak sadarkan diri.

"Alhamdulillah, akhirnya lo bangun juga, Nif!" Seorang pemuda berbaju koko masuk ke dalam kamar dan berdiri di sisi Hanif.

Hanif tercekat. Ia beringsut dan duduk seraya mengedarkan netra, memperhatikan lingkungannya. "Gue di mana, Kal?" tanyanya heran.

"Tenang aja! Lo ada di rumah gue," sahut Haikal. "Semalem Yudhi nelepon gue, katanya adek lo nelepon Yudhi dan bilang lo pergi dari rumah. Berhubung Yudhi lagi sibuk ngurusin nyokapnya yang lagi sakit, ya udah dia minta tolong ke gue supaya nyariin lo!"

Hanif menunduk. Sedikit terkejut melihat pakaian yang dikenakannya bukan miliknya.

"Gue yang nyalinin baju lo!" kata Haikal.

"Thanks, ya!"

Haikal mengangguk. Pemuda itu lekas meminta Hanif untuk mengambil air wudhu. Selanjutnya mereka berdua bergegas pergi ke masjid dekat rumah Haikal guna melaksanakan salat Subuh berjama'ah.

***

Jika Tuhan memberikan kesempatan untuk mengulang masalalu, maka Yuna akan memilih untuk mengembalikan kebahagiaan suaminya. Mungkin dirinya akan memilih untuk tidak meminta kepada sang mama datang kepada Bu Rahmi. Namun, semua sudah terlambat. Hanif terlanjur membencinya. Sesaat ia menghela napas panjang. Diliriknya lantai di ujung bawah ranjang. Lelaki itu ternyata belum kembali. Yuna memijat kepalanya dengan pelan. Pusing, tentu saja. Nyaris semalaman dirinya menangis. Merasa menjadi orang paling menyedihkan. Yuna meraih handphone di sisinya. Meng-dial nomor sang mama.

"Ma! Aku mau pulang, Ma!" ucap Yuna setelah panggilannya diterima. Suaranya begitu parau, hingga memantik kekhawatiran wanita paruh baya di ujung telepon.

Ada apa, Na?

"Aku pengen deket sama Mama!"

Kalo kamu pengen deket sama Mama, Mama sih seneng-seneng aja! Tapi, kalo kamu mau pulang karena lagi berantem sama Hanif, Mama nggak bisa terima!

Tubuh Yuna semakin lemas, segera ia letakkan gawainya setelah mendengar penolakan dari Bu Ninik. Hatinya yang telah hancur, semakin tercabik lantaran merasa sendiri. Ia merasa mamanya sudah tidak peduli lagi kepadanya.

Terdengar suara seseorang menekan handle pintu. Bu Rahmi masuk menghampiri Yuna. Tatapan matanya begitu tajam. Ada kesedihan mendalam. Namun, dari cara Bu Rahmi yang memasuki kamar tanpa permisi, cukup menyiratkan kalau ada kemarahan yang tercipta. Wanita itu duduk di tepian ranjang. Sementara sang menantu tertunduk menekuri lantai. Untuk sesaat keheningan pun tercipta.

"Ibu nggak tau harus bilang gimana lagi sama kamu! Ibu kecewa sama kamu, Yuna!" ungkap Bu Rahmi.

Yuna mendongak, memperhatikan wajah ibu mertuanya dengan penuh keheranan. "Aku udah berusaha, Bu!" sahutnya. "Tapi ..."

"Ibu sama sekali nggak melihat usaha kamu!" potong Bu Rahmi keras.

Yuna mulai cemas. Ibu mertuanya bahkan kini turut membencinya. Lalu siapa yang akan membelanya, kalau bukan dirinya sendiri. "Bu, Ibu tau sendiri kan, Mas Hanif itu keras banget! Dia sama sekali nggak peduliin aku. Bahkan, dia bisa bicara soal Mia di depanku!"

"Itu karena kamu juga menghadapi dia dengan keras, Yuna!" tukas Bu Rahmi. "Hanif itu nggak bisa kamu hadapi dengan cara seperti itu." Nada bicaranya mulai melemah.

"Terus aku harus gimana, Bu?" Yuna kembali menitikkan air mata. Perasaannya semakin pilu.

"Ibu capek, Yuna. Ibu kecewa sama kamu. Sekarang, semua terserah sama kalian. Ibu nggak bisa belain kamu lagi di depan Hanif."

Bu Rahmi merasa sesak. Rasa kecewanya terhadap Yuna teramat besar. Perempuan yang ia harapkan dapat menjadi menantu idaman, rasanya tak lagi bisa. Perempuan itu memilih untuk pergi setelah meluapkan kemarahannya terhadap Yuna. Sementara gadis yang berstatus sebagai istri itu terpaku menatap punggung ibu mertuanya yang kemudian menghilang dari balik pintu.

Sekat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang