( ٣٧ ) Hari-Hari Suntuk

20 6 0
                                    

Ada tiga buku berbeda dengan setumpuk kertas menjulang tinggi yang terbuka di atas satu meja yang sempit. Buku dengan tempelan sticky note dimana-mana, ditulis bergantian dengan tinta hitam. Menulis, menyibak halaman, menambahkan sticky note, mengecap stempel, dan menandatangani lembaran kertas. Dikerjakan dengan cepat oleh Haidar dengan wajah tertekuk, layaknya seorang yang tengah dikerjar deadline. Begitu sibuk.

"Sedang sibuk, ya?" Sapa Hunain, dengan senyum tipis. Merasa kasihan pada Haidar. Sudah lima hari dia sesibuk ini, sudah selama itu pula Hunain tidak mendapat kesempatan untuk berbicara kepada Haidar.

"Ah. Hairi? Kenapa?" Haidar meliriknya, lantas menghentikan kegiatannya sejenak. Mengikuti sikap Rasulullah ketika berbicara dengan orang lain. Selagi mengentikan sejenak ruas jarinya yang rasanya hampir patah.

"Maaf. Aku mengganggu pekerjaanmu ya?" Hunain rasanya begitu tidak enak hati melihat wajah Haidar yang kelelahan dan terlihat kurang istirahat. Membuat Haidar jadi lebih sensitif suasana hatinya.

"Bukan masalah." Haidar tersenyum tipis, bersandar sejenak pada sandaran kursi.

"Jadi sebenarnya, kami para anak kelas satu mendapat tugas mewawancarai anak kelas empat atau lima. Dan narasumber setiap anak tidak boleh sama. Jadi, aku ingin tahu, apa sudah ada anak lain yang menjadikanmu narasumber?" Hunain memutuskan untuk tidak terlalu basa-basi agar tidak begitu menyita waktu Haidar.

"Tidak." Meskipun bergabung dalam organisasi terpenting di Al-Hijr dan menduduki pangkat yang cukup tinggi, sejujurnya Haidar tidak begitu dekat dengan santri-santri lain terutama adik kelasnya.

"Bagus! Kalau begitu.. apakah kau bersedia menjadi narasumberku?" Mata Hunain berbinar, penuh harap. Dengan senyum cerahnya, dia menunggu jawaban dari Haidar yang masih bungkam.

Sejujurnya Haidar bersedia, bahkan sangat menginginkannya. Hanya saja, jadwalnya yang padat cukup menghalanginya untuk menambah agenda lagi.

"Apa kau tidak ada calon narasumber lain?" Tanya Haidar setelah berpikir agak lama.

"Yah.. kenalanku hanya kau dan Mehmed, dan Mehmed sudah jadi narasumber Zaid." Jelas Hunain, seketika luntur wajah cerianya itu. Dan hanya terjadi keheningan yang cukup lama diantara mereka.

"Ah. Kalau kau tidak bisa tidak apa-apa kok. Aku mengerti kau pasti sibuk. Lagipula aku mungkin bisa mencoba bertanya pada beberapa temanku di klub Kaligrafi." Hunain mencoba memahami Haidar, berusaha tidak egois.

"Kalau kau tidak terlalu terburu-buru, sepertinya aku bisa menjadi narasumbermu." Haidar cepat-cepat menjawabnya. Hanya menambah satu agenda lagi sepertinya masih sempat, pikirnya.

"Sungguh? Yes! Terima kasih! Ah, tenang saja. Aku memberimu waktu tiga hari ke depan, kau bebas menentukan waktunya." Hunain begitu senang dengan jawabannya, lantas pergi begitu saja. Menyisakan Haidar seorang di kamar.

Haidar tersenyum masam. Ah, sebenarnya perkerjaan ini masih belum berhenti sampai tiga hari ke depan, ucapnya dalam hati.

🕌 🕌 🕌

"Surat keterangan sangsi sudah aku stempel, tinggal diberikan saja pada santri yang bersangkutan. Legalisir tiga buku kasus untuk semester ini juga sudah selesai." Haidar meletakkan tiga buku itu di atas meja milik Ghani. Mengelap peluhnya.

Sementara Ghani yang terlihat tak kalah sibuk itu mengangguk. "Terima kasih sudah mengerjakan jobdesk-ku. Kemarin aku harus menemui langsung para santri itu untuk menjelaskan rincian sangsinya."

"Ya, aku tahu. Apa jobdesk-ku masih banyak?" Haidar turun tangan membantu Ghani mengelompokkan kertas itu ke dalam file dan meletaknya kembali dalam rak yang berisi puluhan box file.

Şaghirul MujahidunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang