( ٢٢ ) Berantakan

19 8 1
                                    

"Apa perlu kuajari kau untuk tidak menghindari tatapan matamu dari lawan bicaramu?" Tanya Sulh mulai mencengkram kerah baju Zaid. Dan Zaid hanya bisa balas menatap Sulh lemah, dengan air mata yang hampir tumpah.

"Cukup, Azzam!" Haidar tahu dialah yang harus bertindak ketika Sulh mulai 'kambuh'. Memegang lengan Sulh yang tengah mencengkram baju Zaid.

"Apa? Kau mau bilang aku bersalah? Melaporkanku kepada Kak Ghani? Mengirimku ke Kyai? Apa yang kau akan lakukan padaku kali ini?" Tanya Sulh menatap mata Haidar penuh kekesalan.

Melepaskan Zaid yang lalu kembali duduk di kursinya, menunduk sedalam mungkin. Haidar balas menatapnya dengan tegas, tak gentar sedikit pun. Tapi Sulh bukanlah anak yang mudah ditundukkan. Jika sudah seperti ini, Haidar tidak tahu harus apa.

"Azzam tahu kalau bukan hal seperti ini yang seharusnya kamu lakukan. Azzam tenanglah. Duduk sebentar, ambilah wudhu. Nanti kita bicara setelah itu, okay?" Haidar merendahkan nada bicaranya, biasanya itu cukup bekerja.

"Haidar tidak juga mengerti." Ucap Sulh pelan, penuh penekanan. Memilih keluar dari kamar yang dihuni delapan orang itu.

Sang ketua kamar segera mengejarnya, sebelum Sulh bertemu dengan orang lain. Atau permasalahannya akan semakin rumit. Haidar hanya tidak mau kawannya itu kembali ke rangkaian hukuman khususnya yang panjang dan rumit.

Seluruh atensi kamar beralih kepada Zaid yang masih merunduk sedalam mungkin. Memegangi sepasang matanya yang terasa basah.

"Zaid.." Hunain memanggilnya perlahan, berharap bisa menenangkan kawannya itu.

"Ah, tidak. Sungguh, aku tidak apa-apa." Zaid menghindar. Mengucap matanya dan keluar dari kamar untuk menenangkan diri. Berjalan ke arah yang berlawanan dengan yang dilalui Sulh.

Hunain melempar tatap pada penghuni lain, yang justru membuang tatapan mereka darinya.

Hunain memutuskan akan angkat bicara. Dia tahu ada sesuatu yang tidak biasa dari suasana ini. Dan dia tidak ingin terlibat suatu masalah tanpa mengetahui apa masalah tersebut sebenarnya.

Dengan suara pelan, Hunain membuka suaranya. "Sebenarnya.. apa yang terjadi?"

🕌 🕌 🕌

"Jadi ikut tidak?" Tanya Zaid, masih memberes kan alat tulisnya yang berantakan di atas meja.

"Hm.. kamu duluan saja." Jawab Hunain setelah menyadari perutnya kini meronta membutuhkan makanan.

"Okay." Zaid membawa serta sebuah buku dan mengantongi pulpen di sakunya. Persiapannya sudah siap untuk menemui Ustadz dan menyerahkan tugas.

Menyusuri tangga asrama, mencari Ustadz yang bersangkutan. Lima menit yang lalu dia melihat Ustadz itu ada di taman, berharap semoga Ustadz itu belum pindah.

Beruntung, ternyata Ustadz itu belum juga beranjak dari tempatnya. Beliau sedang menikmati suasana sorenya sesekali bertukar sapa dengan para santri ataupun santri yang mendatanginya karena urusan pelajaran. Seperti halnya yang hendak dilakukan Zaid.

“Assalamu’alaikum, Ustadz. Saya mau menyerahkan tugas.” Ujar Zaid sopan.

“Zaid Faruqta ya. Silahkan.” Ustadz itu tersenyum. Sifatnya yang ramah membuat semua santri suka bercakap dengannya. Walaupun tugas yang diberikan tidak seramah sifatnya.

"Bagaimana, Zaid? Apa ada kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugasnya?" Tanya Ustadz masih fokus mengoreksi tugas Zaid.

"Alhamdulillah, sejauh ini tidak ada. Tapi saya bingung Stadz, mau belajar sholawat darimana." Jawab Zaid sopan. Meskipun sebenarnya pengerjaan tugasnya tidak semulus kelihatannya.

Şaghirul MujahidunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang