( ٤٣ ) Dua Pucuk Surat Lusuh

11 5 0
                                    

Matahari nampak terbenam diantara perbukitan di sisi jalan. Suasana mini bus yang gelap tidak lantas membuat suasana semakin sunyi. Syam sang pemilik mini bus memutarkan sebuah film aksi dan ketujuh remaja itu semakin bersorak heboh dibuatnya. Mas Edy sang supir ikut menikmati suasana ramai itu, sesekali tertawa pelan dan ikut andil dalam obrolan. Kenangan yang tidak tergantikan.

"Wah, hero-nya hebat sekali ya! Khalid bin Walid kalau bisa terbang mungkin akan lebih hebat lagi daripada dia." Hunain dengan wajah antusiasnya, mulai berspekulasi dengan imajinasinya.

Haidar tertawa renyah mendengar komentar Hunain. Komentarnya mirip seperti anak berusia enam tahun, menggemaskan. "Mungkin saja."

"Hmm.. wajahku masih lebih 'oke' daripada aktornya. Filmnya pasti akan lebih keren lagi jika aku yang menjadi pemerannya." Syam dengan perkataan konyolnya yang menyebalkan meski kedua matanya masih terpaku pada film.

"Jangan mengada-ada." Mehmed menyikut Syam dengan ekspresi kesal karena keseriusannya menonton film terganggu. Dan Syam selalu terhibur setiap kali wajah serius Mehmed berubah menjadi wajah kesal, hiburan yang tidak pernah membosankan baginya.

"Zaid.." Sulh yang masih di posisi yang sama, tertidur di bahu Zaid terbangun dari tidurnya yang entah sudah keberapa kalinya pada hari ini. Menarik pelan baju Zaid sementara matanya masih mengerjap pelan.

"Eh, sudah bangun? Sudah lebih baik?" Zaid masih terfokus pada film dihadapannya dengan sesekali melirik kawannya yang terbangun itu. Mengunyah camilan manis yang ada di dekapannya.

Sulh menggeleng pelan. Menutup matanya, serta mengeratkan tangannya yang melingkari tubuh Zaid. Membuat Zaid terkejut dan menghentikan acara menonton filmnya yang berlangsung hikmat tadinya. "Pusing. Mau muntah."

Zaid langsung berpikir bahwa kawannya itu tidak boleh muntah sekarang, setidaknya tidak di dalam mini bus mewah ini apalagi jika sampai terkena bajunya. Dan juga.. kekhawatirannya pada si surai hitam di sampingnya itu semakin menjadi. Bagaimana pun juga Sulh hanya membisu dan tidur beberapa kali selama beberapa jam ini.

"Mas Edy, bisa kita berhenti dan istirahat dulu?" Zaid melambaikan tangan sehingga terlihat oleh Mas Edy melalui pantulan kaca.

Haidar mengangguk. "Ini juga sudah hampir waktunya shalat isya."

"Benar. Kita bisa sekaligus makan malam juga." Tambah Syam mengangguk. Mas edy menyetujuinya karena rest area juga sudah dapat terlihat.

Mini bus hitam ini berbelok ke arah kiri, memasuki rest area. Begitu turun dari mobil rona pucat di wajah Sulh berangsur-angsur pudar, sepertinya mengurungkan niatnya untuk muntah.

Setelah memarkirkan mobil, mereka kompak berjalan menuju masjid besar yang bersinar akibat lampu-lampu yang mengiasinya di sana. Di bagian dalamnya juga tidak kalah indah dengan warna kuning pastel dan lampu bercahaya kekuningan, ditambah dengan karpet halus yang mebuat kesan mewah semakin terasa. Seperti masuk ke istana.

Setelah setengah jam berada di dalam masjid, mereka kini berjalan-jalan di rest area. Menikmati langit malam yang indah, bersih tanpa awan. Haidar mengusulkan rumah makan sederhana saja agar tidak membuat budget membengkak. Syam menolak, mumpung sedang ada di luar pesantren, kesempatan ini harus dimanfaatkan untuk makan enak.

"Aku biasa makan makanan yang lebih enak lagi saat meeting dengan klient-ku. Kalian 'kan temanku, harusnya kalian kuajak makan yang lebih baik lagi daripada saat makan bersama klient. Tapi sayangnya, ini saja makanan yang terjual disini." Begitu katanya saat akhirnya mereka makan di sebuah restoran standar rest area yang menjual cukup banyak makanan modern.

Dengan agak sungkan, Anak Salahhudin akhirnya makan malam disana. Mas Edy yang tadinya tidak enak hati ikut makan bersama atasannya, ditarik tangannya oleh Syam dan dipaksa makan satu meja dengan mereka.

Şaghirul MujahidunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang