(٢٣) Tidak Tahu

17 8 3
                                    

Seharian berjalan dengan begitu tenang. Begitu terbalik dibandingkan suasana hari kemarin. Zaid menikmati hari tenangnya itu, menyegarkan kembali pikirannya. Hingga saat shalat asar, Zaid terpikirkan sesuatu.

Tidak, harusnya tidak seperti ini. Sepertinya ada yang dilewatkan, pikirnya. Entah kenapa, kakinya melangkah kembali ke kamar dengan tergesa-gesa. Mendekap erat lipatan sarungnya, terengah berlari menuju kamar.

Caranya membuka pintu dengan agak kasar, menyita atensi seluruh anak-anak kamar. Kini semuanya menatap Zaid yang tergesa-gesa. Sementara mata coklat Zaid menyapu pandang ke seluruh arah, menatap satu per satu kawan sekamarnya. Lantas menyadari, hanya enam pasang mata yang ditemuinya.

"Sulh dimana?" Ucapnya memecah keheningan. Dan entah kenapa seluruh anggota kamar bersikap seolah tidak mendengar.

"Syam! Mehmed! Kalian pasti tahu 'kan? Jawab.." pinta Zaid. Mehmed dengan berat hati menutup mulutnya, sementara Syam kesal ingin menjelaskan semuanya tapi tak bisa.

"Zaid, tenanglah.. aku ingin memberi tahumu. Tapi sungguh, aku juga tidak tahu dimana dia." Hunain menghampirinya, memegangi lengan Zaid. Menenangkan kawannya.

"Salman.. Faris.. dimana dia?" Zaid entah kenapa merasa dia harus menemuinya sekarang juga. Zaid sudah tidak melihatnya seharian ini, khawatir bukanlah hal yang berlebihan bukan?

Faris memang biasanya diam. Tapi kali ini dia tidak suka atas tutup mulutnya, melirik kawan masa kecilnya itu. Sementara Salman, perasaannya terusik oleh rasa empati. Membuatnya tidak bisa tinggal diam, namun dia tahu bicara terus terang juga bukan solusinya. Ini adalah perkara besar yang menjadi rahasia Al-hijr yang tidak bisa dibocorkan begitu saja.

"Haidar.." Desis Salman tidak suka. Menahan amarah, tidak suka atas perlakuan Haidar yang memaksanya menutupi fakta dari Hunain dan Zaid.

"Ini adalah rahasia Salahudin, Salman." Haidar juga menekan intonasinya.

"Lantas kamu tidak menganggap kami bagian dari Salahudin, benar begitu?" Hunain sudah menyadari hal itu sejak lama, dan akhirnya mengeluarkan hipotesisnya yang selama ini dipendamnya.

"Kalian bagian dari Salahudin, tapi tidak untuk urusan ini." Haidar sedikit mengeraskan suaranya, lupa bahwa dihadapannya adalah adik kelas favoritnya bukan santri bermasalah yang biasa berurusan dengan mudabbir.

"Kalau kamu memang menganggap kami bagian dari Salahudin, maka kamu tidak berhak menutupi fakta yang seharusnya saya dan Zaid ketahui juga!" Hunain kesal. Kekesalannya karena terus berpura-pura tidak tahu atas keganjalan yang ada selama ini. Semuanya meledak, bahkan mungkin Hunain satu-satunya yang berani menanggapi Haidar yang berada di bawah emosi.

"Tapi, saran Akhi Fikri-"

"Akhi Fikri tidak ada disini, Dar! Akhi Fikri bukan lagi bagian dari Salahudin!" Fakta yang dikatakan Hunain menampar Haidar telak. Di depan Haidar adalah Hunain sebagai anak Salahudin yang baru, bukan Akhi Fikri yang telah lulus beberapa tahun silam.

Haidar terkejut, tapi bukan itu masalahnya. Haidar baru sadar ada perasaan yang terluka melihatnya lebih mengakui seseorang yang sudah tidak lagi disini.

Tatapan mata Hunain sudah menjelaskan semuanya. Seberantakkan kaca yang pecah, itulah yang terlihat di iris matanya.

"Bukan begitu maksudku, Hairi.." Haidar tersentak, ingin menjelaskan semuanya dan meminta maaf pada kawannya itu. Tapi dia tidak bisa, tidak untuk sekarang.

"Aku hanya ingin melindungi kalian, karena aku pikir lebih baik kalian tidak mengetahuinya." Sanggah Haidar, berusaha meyakinkan Hunain.

"Saya sendiri saja masih tidak tahu mana yang baik dan buruk untuk saya, lantas kenapa kamu merasa tahu akan hal itu? Yang tahu hanya Yang Maha Tahu, Dar. Tidak perlu beralasan dengan alasan klise itu." Hunain mengalihkan pandangnya, meredakan emosinya. Melafalkan istigfar dalam hati.

"Maksudku-"

"Assalamu'alaikum Warahmatullah, Salahudin Al-ayubi?" Suara ketukan pintu dan salam menginterupsi perdebatan mereka. Semuanya menengok ke arah pintu menerka siapakah yang mengetuk pintu.

Syam beranjak dari duduknya sementara yang lain masih mematung. Memutar kenop pintu dan melihat wajah tegas Ustadz Anas, menjawab salamnya. Syam sama tegasnya, karena suasana kamar dia tidak berselera untuk tersenyum.

Ustadz Anas tidak memedulikan atmosfer berat yang terasa di dalam kamar, dia hanya melangkahkan kaki dan masuk ke kamar tersebut. Mengabaikan seluruh tatap anak Salahudin dan meringkus peralatan milik Sulh.

"Ustadz! Ustadz, intazar Ustadz!" Zaid menghentikan Ustadz Anas membereskan benda milik Sulh.

"Ada apa?" Permintaan tidak mengenakkan dari Kyai tentang maksud kedatangannya di kamar ini juga membuat Ustadz Anas tidak berselera. Dia sungguh tidak tega melakukannya.

"K-kenapa barang milik Sulh dibereskan, Ustadz?" Jujur Zaid sendiri terlalu takut untuk mendengar jawabannya. Tapi dia lebih takut untuk kehilangan sosok kawannya semendadak ini.

"Saya minta maaf. Tapi hari ini akhirnya Kyai memutuskan untuk menskors Sulh sampai waktu yang belum ditentukan." Jelas Ustadz Anas.

"D-dia menghadap Kyai? Dan diskors?" Ucap Hunain pelan, tidak percaya. Apa yang sebenarnya terjadi? Hunain tidak mengerti.

"Menghadap Kyai? Sejak kapan, Ustadz?" Tanya Zaid dengan suara keras, refleks. Bukankah menghadap Kyai adalah sebab dari kasus berat?

"Sejak selesai Shalat Subuh tadi. Kamu tidak tahu, Zaid?" Ustadz Anas heran kenapa dia bisa tidak tahu. Harusnya pada kasus terberat seperti ini pun, teman sekamarnya masih diperbolehkan untuk mengetahui proses hukumannya beserta kejelasan kasusnya. Al-hijr mendidik mereka dalam kesatuan keluarga yang bersama sulit maupun senang khususnya dengan teman sekamar.

"Tidak.." Ucap Zaid, menggeleng pelan. Dia memang tidak nyaman atas perlakuan Sulh yang dilakukannya beberapa hari lalu, namun Zaid tidak berminat untuk memperpanjang masalah tersebut apalagi sampai ke hadapan Kyai seperti ini. Kendati dialah korbannya, rasa bersalah tetap terselubung di tubuhnya.

"Memang kamu tidak memberi tahunya, Dar?" Ustadz Anas beralih menatap Haidar. Ustadz Anas bepikir mengapa Haidar tidak memberi tahunya. Bukankah sosok Haidar terus menjadi tokoh tauladan yang menjalankan semua amanat? Sosok ketua kamar itu pun merasa bersalah.

Haidar merasa bersalah. Terlebih dengan melihat Zaid yang tidak tahu apapun. Hanya ada keheningan menghinggapi setelah Ustadz Anas pergi.

"Ikutlah. Akan kuantarkan kau kepada Sulh" ucap Haidar pada akhirnya memutuskan untuk memberi tahu Zaid.

Şaghirul MujahidunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang