( ١٠ ) Harus Bisa

22 10 3
                                    

Hunain sedang gusar. Dia duduk menunggu di sisi taman. Harap-harap cemas, menanti kedatangan salah satu kehadiran anggota kamar Salahuddin.

Lagi-lagi matanya kembali melirik jam, ini sudah hampir waktunya. Apa teman-temannya lupa kalau dia minta ditemani?

Tapi setelah dipikir-pikir juga, wajar saja. Ini waktu eskul sekaligus istirahat, banyak eskul yang sedang ada jadwal. Barang kali mereka tengah sibuk.

Hunain berdiri, berjalan sendiri. Bertekad untuk tidak bicara jika tidak perlu. Ruang kaligrafi itu menjadi destinasinya, dengan harapan tengah sepi disana.

Hingga bahunya bertabrakan dengan seseorang.

"Afwan." Ucap Hunain. Ternyata Faris yang menabraknya.

"Baru saja aku ingin menemuimu." Balas Faris dengan bahasa arab.

"Bukankah klub robotik akan segera mulai?"

"Ya, masih ada sepuluh menit. Mungkin masih sempat jika kita bergegas."

"Tak apa. Faris pergi saja. Saya bisa sendiri." Tolak Hunain sopan.

"Benar nih?" Faris sangat menghargainya. Tahu saja dia belum beristirahat sejak tadi barang semenit. Maka duduk-duduk di ruang tim robotik sambil menunggu waktunya mulai sangat berarti baginya.

"Iya. Duluan ya. Assalamu'alaikum!" Ucap Hunain melambaikan tangan.

Dilepas lambaian tangan, Faris menjawab salamnya.

Sementara Hunain kembali membulatkan tekadnya. Mengokohkan mind set-nya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mengingat, ini adalah setengah jam pertamanya berkeliaran diluar asrama tanpa ditemani siapa pun. Setelah peraturan berbahasa asing berlaku tentunya.

Benar saja. Keberuntungan memihaknya kali ini. Ruang kaligrafi terbilang sepi. Hanya ada empat-lima orang disana, itu pun mereka sedang sibuk dengan kaligrafinya masing-masing.

Dia kesini untuk mengambil kuas pribadinya yang tertinggal. Hanya perlu mengambil kuas berwarna coklat itu, dan dia bisa segera melangkah keluar. Sayangnya, tidak semudah itu.

"Hunain," panggil salah seorang anggota kaligrafi yang menyapanya. Menghentikan langkah senyapnya.

Hunain meruntuki dirinya yang melangkah kurang cepat. Sekarang dia tidak punya pilihan selain menengok.

"Ya?" Senyuman aneh terlihat jelas disana.

Kawan sesama anggota kaligrafi itu mengucapkan sesuatu. Karena panik, ucapan dengan pronounce yang baik itu terdengar terlalu cepat. Dia tak mendengar apa yang diucapkannya.

"Sorry?" Cicit Hunain. Meminta lawan bicaranya mengulang kembali perkataannya.

"Have you see applicator size 16?"

Hunain menggigit bibir bawahnya. Ya, saat ini dia tidak tahu benda apa yang ditanyakannya.

"Em.." Hunain memforsir pikirannya. Mengingat-ingat apakah dia pernah mendengar kata itu sebelumnya?

Applicator. Kata asing di telinganya. Baru beberapa detik, Hunain sudah pusing menganalisis apa benda itu. Dia hanya menyimpulkan satu informasi dasar; anak itu menanyakan salah satu peralatan kaligrafi.

"Have you see it?" Tanya anak itu kembali.

"The.. applicator?" Hunain bertanya balik, dijawab anggukan. Anak itu terlihat membutuhkannya segera, dan Hunain sebenarnya tak ingin membuat anak itu menunggu lama.

Detik demi detik terasa begitu lama bagi Hunain, ingin rasanya dia kabur saja dari situasi ini.

"Ah, you haven't see it. Right?"

Şaghirul MujahidunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang