Saat di kelas jadilah dia duduk sendiri, karena memang belum ada sih yang dekat sekali dengan Hunain. Tapi rasanya, sangat membosankan tidak memiliki lawan bicara yang asik disela runtutan jadwal yang begitu padat.
Rasanya seperti tidak memiliki rekan seperjuangan yang biasanya ada, sama-sama bertempur di bawah tekanan yang sama. Tapi hari ini sampai beberapa hari kedepan tidak lagi. Hunain harus menghadapinya diatas kaki sendiri
Hunain butuh waktu lebih untuk bisa beradaptasi karena lingkungan ponpes sangat berkebalikan dengan lingkungan rumahnya. Di ponpes penuh dengan berbagai macam tekanan bahkan tidak diperbolehkan terlambat satu menit pun.
Setidaknya kalau di rumah dia akan dibangunkan dengan cara baik-baik, bukan dengan ketukan pintu itu di pagi buta. Hunain tidak terbiasa dengan nada keras Astatidz dan para mudabbir ketika memberi peringatan, walaupun itu adalah bentuk ketegasan mereka.
Tanpa sadar, dia sudah beberapa kali dia menghela nafas. Kelemahannya dalam menghafal denah cukup menyusahkan. Dia dipaksa berpikir keras setiap kali harus berpindah tempat.
Seperti sekarang ini ketika seluruh anak kelas satu disuruh untuk pergi ke aula setelah pelajaran. Hunain selalu terdiam setiap kali menemukan percabangan jalan.
Sebenarnya selalu ada plang petunjuk di setiap percabangan jangan, hanya saja itu ditulis dengan bahasa inggris dan bahasa arab. Hunain memang cukup fasih berbahasa arab, namun tidak apabila itu adalah arab gundul seperti di plang. Mengingat Hunain belum mulai mempelajari nahwu shorof.
"Dik, kelas satu 'kan? Ayo cepat ke aula!" Itu mudabbir, mudah dikenali dengan seragam rompi biru dongkernya.
Hunain tidak menjawab masih mencoba membaca arab gundul di plang itu.
"Dik? Kok malah diam saja? Ayo cepat! Nanti kalau telat dihukum loh! Cepat sanah!"
Hunain menengok garang. "Iya! Ini saya juga mau ke sana kok!"
Hunain mulai berjalan ke kanan, ke arah plang yang bertuliskan "Mal'abu". Dahi mudabbir itu berkerut bingung. Anak itu terang-terangan ingin bolos atau bagaimana sih? Pikir mudabbir.
"Oy! Ke aula itu lewat kiri tahu!" Mudabbir itu meneriaki Hunain.
Hunain masih dengan wajah garangnya, tak kalah galak. "Iya iya saya tahu! Saya memang mau belok ke kiri kok!" Lantas Hunain berbelok ke kiri. Masih dengan wajah marahnya yang justru terlihat lucu.
Mudabbir itu menggelengkan kepalanya. Sudah dua tahun aku menjadi mudabbir, dan baru kali ini ada adik kelas yang berani memarahiku. Mudabbir itu tidak habis pikir.
🕌 🕌 🕌
Harusnya hari ini Hunain mendapat bagian membersihkan toilet. Namun karena Zaid tidak ada dan dia harus bekerja sendiri jadi dia membersihkan asrama, asrama bagian satu.
Menurut Hunain, mendapat bagian membersihkan asrama juga bukan bagian yang ringan. Karena membersihkan asrama berarti mencangkup; menyapu, mengepel dan membuang sampah. Walaupun hanya bagian satu itu saja, jangkauannya cukup luas untuk dikerjakan sendiri.
Hunain segera menyapu. Moodnya sudah lebih baik setelah makan siang, karena menu makan kesukaannya tersaji disana.
Dia mencoba tetap menjaga semangatnya meski dia baru saja menyelesaikan Halaqah Nahar-nya.Kondisi yang sepi sangat membantu Hunain, itu berarti tak ada yg berlalu-lalang saat dia sedang bersih-bersih. Sesekali melantunkan shalawat yang baru saja dihafalnya, kemarin dia menghabiskan sore di dekat tim hadroh. Jadi ikut hafal shalawat yang dilantunkan oleh Salman itu.
Meski teknik vokalnya tidak sebagus tiga vokalis hadroh yang tinggal sekamar dengannya itu, setidaknya itu bisa mengusir sepi. Area asrama memang dilarang dimasuki di atas jam empat sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
Şaghirul Mujahidun
RandomKata orang, pondok pesantren adalah tempat yang membosankan lagi menyeramkan. Tapi hal itu tidak berlaku di Pondok Pesantren Al Hijr, terlebih lagi di kamar Salahudin Al Ayyubi. Kamar unik yang dihuni 8 lelaki dengan berbagai sifat. Ragam sifat yang...