( ١٩ ) Aku yang Salah

19 10 2
                                    

"Bagaimana denganmu yang pernah membuat kita gagal tampil hadroh?" Balas Syam tak kalah sarkas.

"Aku menjadi panitia acara sebelumnya. Wajar jika aku butuh istirahat." Bela Salman yang jatuh sakit kala itu.

Dan perdebatan masih terus berlangsung. Sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda mereka akan berhenti.

"Kalau memang tidak kuat mengaku saja. Tidak usah sok bisa begitu." Balas Sulh dingin.

"Diam kau, orang yang takluk dengan anak baru." Balas Salman dengan nada penuh dendam, memancing murka Sulh dengan matanya yang berapi.

"Seperti perang dunia saja.." Lagi-lagi Zaid berkomentar.

"Aku bahkan tahan nafas melihatnya." Mehmed berubah pikiran, perdebatan mereka lebih menyeramkan dari yang tadi dia bayangkan.

"Faris, umm.. boleh saya bertanya?" Cicit Hunain. Memanggil orang di sampingnya yang menonton perdebatan masih dengan wajah datar andalannya.

"E-eh.. iya? Ada apa?" Jawab Faris. Terkejut, saking jarangnya dia berbicara. Bahkan kepada teman sekamarnya sendiri.

"Mereka baru pertama kali begini atau sudah sering?" Tanya Hunain yang tak pernah terbiasa melihat perselisihan seperti ini.

"Ah.. mereka begitu mungkin sudah rutinitas. Kalau tidak begitu terasa ada yang kurang. Biarkan saja." Faris mengangkat bahu, memutar bola matanya tidak peduli.

"Tapi 'kan kalau mereka begitu terus mereka bisa bisa tidak baikan." Hunain sedikit mengeraskan suaranya, berusaha membuat Faris mengambil tindakan. Namanya teman itu tidak boleh bertengkar, itulah prinsip Hunain. Namun sayangnya hal itu sangat sulit dihindari terutama pada sekumpulan Ikhwan begini.

"Mereka punya jadwal manggung segera. Mau tidak mau harus segera baikan bukan?" Faris memiringkan sedikit kepala, berbicara dengan Hunain nyaman karena tidak perlu mendongak. Postur Faris yang sedikit pendek membuatnya harus sedikit mendongak untuk menatap lawam bicaranya tapi kali ini dia tidak perlu melakukannya karena tinggi Hunain yang hampir sama dengannya.

"Kalau mereka tidak baikan juga bagaimana? Tidak bakal batal 'kan?" Tanya Hunain membayangkan. Karena sedang bertengkar, mereka enggan berdiri di satu panggung yang sama.

"Sepertinya aka menjadi sejarah besar kalau batal." Faris tersenyum tipis. Mengundang tawa pelan Hunain. Tapi tetap saja Hunain tidak mengerti bagaimana bisa nada ramah itu keluar dari wajah super datar seperti itu.

"Wah, menyeramkan sekali jika batal." Hunain terkekeh. Faris cukup menghibur meski ucapannya tak didukung ekspresi yang memadai.

"Eh tapi, ada yang lebih menyeramkan daripada pembatalan mereka." Faris teringat sesuatu.

"Oh ya? Apa itu?" Hunain menghentikan tawanya. Tertarik mendengar.

"Itu-"

Haidar membuka pintu perlahan. Tenaganya terkuras habis selepas latihan habis-habisan. Memijat kepalanya yang sedikit pening. Ustadz Fikri memberikan banyak koreksian padanya tadi, meski begitu Ustadz Fikri tetap idolanya. Dan Haidar mengerahkan seluruh kemampuannya untuk memperbaikinya.

Dan begitu dia kembali, yang didengarnya adalah tiga vokalis kebanggaan Al-Hijr itu tengah bertengkar hebat (lagi). Membuat semua keluhan yang telah dibendungnya hari ini, tak kuasa ditahan lebih lama lagi.

"Astaghfirullah, daritadi kalian sedang apa sih? Suara kalian kedengeran sampai luar. Tadi aku sampai ditegur Ustadz tahu. Kalian kenapa sih teriak-teriak? Ganggu kamar yang lain tahu tidak? Sudahlah, aku mau istirahat." Haidar segera menyatu dengan kasur tipisnya.

Şaghirul MujahidunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang