"Sudah selesai dhuhanya?" Tanya Sulh memasukkan biskuit dan air mineral kecil ke dalam tas selempangnya.
"Sudah kok." Zaid mengangguk. Pagi ini mereka akan berjalan-jalan di taman rumah sakit yang cukup luas. Keluar dari pondok adalah kesempatam langka, harus dimanfaatkan dengan baik.
"Rotinya sudah? Semangka juga sudah dihabiskan belum?" Sulh mengabsen menu sarapan Zaid pagi ini, jangan sampai ada yang lupa dihabiskan.
"Iya sudah semua." Jawab Zaid meyakinkan.
"Assalamu'alaikum, permisi." Ketuk seseorang dari luar. Nampaknya perawat. Rumah sakit ini adalah rumah sakit islam, suasana islami disini sangat kental. Di setiap kamar disediakan alat shalat lengkap dengan Al-Qur'an, dan perawat perempuan memakai jilbab yang cukup panjang.
"Wa'alaikumussalam." Jawab Sulh dan Zaid kompak. Sulh cepat bergerak menuju pintu. Mempersilahkan perawat itu masuk.
Perawat itu terkejut melihat Zaid. "Zaid Faruqta?"
Sulh terkejut perawat itu mengetahui nama panjang Zaid. Sementara mata Zaid berbinar, familiar dengan sosok tersebut.
"Ukhti Lail!" Panggil Zaid tersenyum sumringah.
"Masya Allah, Zaid sekarang sudah besar sekali ya." Perawat itu tersenyum, mulai mencabut infus yang menancap di tangan Zaid.
"Hehe, iya Ukhti. Ukhti apa kabar?"
"Alhamdulillah, baik. Kamu juga jaga kesehatan, sudah dipesanin tidak perlu kembali lagi ke kamar pasien. Bandel nih." Lail menyayangkan pertemuannya dengan Zaid harus berada di kamar pasien lagi.
Perawat itu beralih melihat Sulh cukup lama. Dan Sulh hanya melempar pandang cuek ke sembarang arah.
"Kamu itu.. vokalis hadroh Al-Hijr 'kan?" Selidik Lail tepat sasaran.
"Iya." Jawab Sulh bingung. Sejak kapan ketenaran hadroh Al-Hijr sejauh itu?
"Wah betul ternyata. Jadi, Zaid masuk Al-Hijr ya?" Tanya Lail dengan nada senang.
"Iya. Bagaimana Ukhti bisa tahu?" Tanya Zaid ikut bingung.
Lail tersenyum malu-malu. "Aku istrinya Ustadz Khalid, tiga tahun lalu kami menikah. Sekarang sudah punya sepasang anak kembar, Alhamdulillah. Jadi panggil Uma saja ya?"
"Masya Allah. Dunia sempit sekali ya." Komentar Zaid, dijawab anggukan Sulh.
"Wah sudah jadi Uma sekarang. Mau dong kenalan sama si kembar." Ujar Zaid membayangkan dua batita menggemaskan.
"Boleh. Minta antar sama Ustadz Khalid saja ke rumah. Ajak saja teman-teman yang lain." Ujar Lail tersenyum. Dia yakin akan menceritakan pertemuannya dengan Zaid dan Sulh pada suaminya nanti.
"Terima kasih Uma, Zaid mau ke taman dulu ya sama Sulh." Senyum Zaid, dengan riang turun dari kasurnya setelah infus selesai dicabut dari tangannya.
"Pamit dulu ya, Uma. Syukron." Tambah Sulh, tersenyum sopan.
Lail tersenyum, mengangguk. Sementara Zaid dan Sulh mulai meninggalkan ruangan. Koridor menuju taman terbilang ramai, tidak sedikit pasien yang berpikir sama untuk berjalan menuju taman. Entah untuk bersantai dan menyejukkan pikiran, atau untuk sekedar berjemur karena instruksi dokter.
"Id, apa sebaiknya aku ambilkan kursi roda saja?" Ucap Sulh hati-hati. Tapi maksud Sulh baik, dia hanya ingin Zaid istirahat total selama berada di rumah sakit ini.
Zaid melotot, terkejut. Lantas menggeleng kuat. "Aku tidak lumpuh, tidak perlu."
Sulh tahu Zaid pasti salah menangkap maksudnya. "Tapi Id.. kursi roda bukan untuk orang lumpuh saja 'kan?"
Kamu saja masih pucat sekali, Id. Aku takut kamu ambruk lagi. Protes Sulh dalam hati, mempererat genggaman tangannya dengan tangan Zaid.
"Tidak perlu, aku bisa." Ucap Zaid meski sorot matanya sendiri memantulkan rasa tidak yakin.
Aku tidak mau terlihat menyedihkan di matanya, pikir Zaid. Meski sebenarnya menyukai perhatian yang dilimpahkan dari sosok kakak kelasnya itu.
Akhirnya mereka tetap berjalan. Sampai di taman yang ramai. Ada yang duduk-duduk atau terapi belajar berjalan. Disana juga ada sekelompok anak berkumpul sedang menikmati waktu mendongeng yang diadakan tiap beberapa jam sekali.
Zaid dan Sulh memilih duduk di kursi taman yang berada di dekat kolam ikan. Terlihat sekali Zaid begitu antusias melihat ikan-ikan beragam warna itu berenang kesana-kemari. Sementara Sulh hanya tersenyum aneh, tidak antusias seperti Zaid.
"Terus tadi kamu akrab sekali sama Uma. Jadi dulu kamu pernah masuk rumah sakit?" Tanya Sulh dengan nada khawatir yang terdengar jelas.
Zaid tersenyum miris. Pada akhirnya Sulh harus mengetahuinya juga. Hanya tersenyum ketika bayang-bayang masa lalu menapilkan kilas baliknya. "Ya.. lebih dari kata pernah, sebenarnya."
"Sering sekali kah?" Padahal Sulh kira Zaid sehat seperti kebanyakan orang lain. Dia sama sekali tidak memperlihatkan bahwa dia pernah menjadi pelanggan setia pengguna jasa pelayanan rumah sakit.
"Iya.. biasanya setiap satu semester sekali dirawat dua minggu. Atau paling sering tiga bulan sekali.." Zaid hanya mengayunkan kakinya, tersenyum tipis. Mengalihkan tatapan matanya menatap ikan-ikan yang berenang dengan semangat. Seakan ikan-ikan itu menyebarkan semangat untuk melanjutkan hidup kepada pasien-pasien yang melihatnya.
"Memangnya kamu sakit apa?" Sulh tidak ingin terlalu banyak basa-basi lagi. Satu kalimat refleks dari Sulh itu membuat Zaid terkejut, sampai sekelompok ikan yang sedang mendekati Zaid ke tepi kolam ikut bubar serentak.
"Bukan apa-apa." Dia sudah tidak sakit lagi. Harusnya penyakitnya yang telah sembuh itu tidak penting lagi untuk diketahui.
Sulh melancarkan tatapan membunuhnya. Masih bagus dirinya itu bersedia susah-susah menanyakan kondisi kawannya. Tidak mungkin sorot khawatir itu tidak terlihat, seharusnya. Ah entahlah, Sulh bukan orang yang pandai berekspresi.
Zaid mendengus kesal. "Aku punya lambung yang sensitif. Masalah di pencernaan yang cukup serius dan komplikasi terus selama tiga tahun awalnya. Lalu, aku keras kepala tidak ingin di operasi saat enam tahun lalu aku dinyatakan kritis. Kemudian selama satu tahun aku dirawat intensif, bolak-balik ICU. Setelah itu akhirnya di operasi dan sembuh."
"Yakin sudah sembuh?" Bukan maksud menakuti, hanya saja faktanya karena kondisi Zaid yang sempat menurun, mereka berdua harus berada di rumah sakit sementara waktu. Rasanya wajar apabila Sulh meragukan kondisi kesehatan kawannya itu.
"Sembuh kok! Hanya saja.. untuk beberapa orang yang pernah melakukan operasi pencernaan memang punya sedikit.. efek samping." Jelas Zaid patah-patah. Dengan gestur mencurigakan, dia membongkar kondisi sebenarnya. Membuang tatapan mata, kabur dari terkaman mata elang milik Sulh yang terus menghujaninya dengan badai salju. Dingin dan menusuk.
"Kenapa tidak bilang dari dulu!" Sulh protes, tanpa sadar memajukan posisinya condong ke depan. Ke arah Zaid. Dengan maksud menakuti. Sementara Zaid merangkak mundur dan terjatuh di kolam ikan andaikan tadi Sulh terlambat menarik tangannya.
"Astagfirullah!" Jerit Zaid menutup matanya. Setelah membuka mata, dia sadar kepalanya hanya beberapa senti di atas air. Sulh menariknya kembali ke posisi semula, memalingkan wajahnya. Yang tadi itu benar-benar hampir saja.
Sulh meruntuki dirinya sendiri dengan tindakan bodohnya tadi. Padahal kesempatan hanya berdua dengan Zaid tanpa gangguan orang lain ini niatnya digunakan untuk permintaan maaf. Entahlah, tapi mengucapkan kata maaf sangat sulit bagi Sulh.
"A-aku akan segera kembali." Sulh hanya mengedarkan pandangannya dan berjalan menjauh dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya. Meruntuki tindakannya tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Şaghirul Mujahidun
LosoweKata orang, pondok pesantren adalah tempat yang membosankan lagi menyeramkan. Tapi hal itu tidak berlaku di Pondok Pesantren Al Hijr, terlebih lagi di kamar Salahudin Al Ayyubi. Kamar unik yang dihuni 8 lelaki dengan berbagai sifat. Ragam sifat yang...