"Kau berhutang banyak penjelasan padaku dan Hunain, Haidar. Aku harap kau tidak melupakan itu." Ucap Zaid, menggulung lengan tangannya. Menyusuri jalan setapak taman menuju kantor mudabbir. Taman yang ramai membuat mereka hanya bisa berjalan cepat menuju tujuan, juga agar tidak mencuri perhatian umum.
"Iya, akan kujelaskan semuanya." Haidar tersenyum tipis. Dia tahu itulah yang seharusnya dilakukannya. Kegelisahan di batinnya menghilang. Selanjutnya dia hanya bisa merapal do'a agar kedepannya baik-baik saja.
Sampai di kantor mudabbir keduanya berdiri di depan pintu. Saking tidak sabarnya, Zaid yang mengetuk pintu dan itu membuat Haidar terkejut. Mungkin Zaid adalah 'sipil' pertama yang berani mengetuk pintu kantor mudabbir, pikir Haidar terkekeh.
"Dimana Akhi Ghani?" Ucap Zaid lantang. Mencuri atensi seluruh anggota mudabbir atas terdengarnya suara asing di kantor mereka.
"Hey, siapa dia Dar?" Tanya si penjaga ruang 'reservasi' pada hari ini.
"Temanku. Aku butuh bicara dengan Ghani. Dimana dia?" Ucap Haidar pelan namun tidak sedikit pun meninggalkan aura wibawanya.
"Kau ingin bicara dengan Ghani dengan membawa temanmu itu? Kau ingat bukan jika urusanmu tentang kedisiplinan maka tidak boleh ada pihak ketiga yang ikut berbicara dengan pihak kita."
Haidar menghela nafas. "Pengecualian untuk kasus khusus. Kasus nomor 2810 mendapat tindakan kembali. Dia adalah teman sekamar yang juga berhak mengetahui rangkaian kasus."
Semua anggota yang mendengarnya terkejut. Tapi si penjaga 'reservasi' itu cepat-cepat mengangguk.
"Sayangnya, Ghani sedang tidak ada disini. Ghani sedang ada urusan dengan ekstrakulikuler."
Haidar tentu kesal. Memikirkan kembali apa yang harus dilakukannya agar si rambut coklat satu ini bisa bertemu Kyai dan memohon keringanan hukum bagi Sulh. Menurut Zaid, skors adalah hukuman yang terlalu berat bagi masalah sepele itu.
Mereka melangkah keluar dari kantor mudabbir. Duduk sejenak di kursi taman. Sayangnya, menemui Kyai butuh pengantar tentunya. Dan Haidar bingung siapakah petinggi Al-Hijr yang bisa dia hubungi segera. Sedangkan akses termudah untuk memiliki izin ke hadapan Kyai adalah Ghani selaku ketua Mudabbir.
"Dar, kenapa tidak coba hubungi Ustadz saja? Ustadz Khalid misalnya." Usul Zaid.
Haidar membenarkan usulan Zaid yang tidak terpikirkan sebelumnya. "Kau benar. Harusnya kita ikut dengan Ustadz Anas tadi. Kalau begitu kita coba temui Ustadz Khalid saja."
Mereka segera beranjak dari duduk dan mulai berjalan ke ruangan Asatidz. Namun sebelum sampai, mereka bertemu dengan Ustadz Khalid di jalan.
"Assalamu'alaikum, Ustadz. Kebetulan sekali kami sedang cari Ustadz." Ujar Haidar ketika Ustadz Khalid pun berhenti begitu melihat mereka.
"Wa'alaikumussalam. Sama, Ustadz juga cari kalian." Jawab Ustadz Khalid terlihat sedikit tergesa-gesa.
"Ustadz cari kita?" Haidar balik bertanya. Heran saja.
"Zaid, Sulh mencari kamu." Ustadz Khalid melempar pandang ke Zaid, menatap iris coklatnya.
Hanya karena satu kalimat pendek itu, perasaan aneh berdesir di benak Zaid. Perasaan yang tidak dapat dijelaskan itu menghangatkan sanubarinya. Dia merasa lega. Tapi, dia merasa begitu khawatir meski dia tahu Sulh baik-baik saja. Perasaannya begitu campur aduk.
Satu yang jelas bagi Zaid. "A-aku pun mencarinya, Stadz."
🕌 🕌 🕌
Baik Haidar, Zaid maupun Ustadz Khalid sama-sama berjalan cepat, begitu tergesa-gesa. Meski Zaid yang paling rendah tingginya, justru dialah yang paling semangat. Dengab tampang serius, peluh pun membasahi ketiganya terutama Zaid. Seakan ada penjahat disana yang sedang mensekap temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Şaghirul Mujahidun
De TodoKata orang, pondok pesantren adalah tempat yang membosankan lagi menyeramkan. Tapi hal itu tidak berlaku di Pondok Pesantren Al Hijr, terlebih lagi di kamar Salahudin Al Ayyubi. Kamar unik yang dihuni 8 lelaki dengan berbagai sifat. Ragam sifat yang...