(٢٥) Menjadi Juru Bicaramu

13 7 0
                                    

Sulh dan Zaid sama-sama bersandar di tepian balkon. Pemandangan di pondokan Asatidz benar-benar bagus. Tanaman yang hijau dan beragam ditambah dengan sungai kecil yang melewati menambah keasrian pondokan ini.

Sayangnya, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk bersantai menikmati pemandangan alam. Dengan suara agak pelan, mereka berdua bercerita apa yang sudah terjadi seharian ini. Sulh menceritakan semua tentang bagaimana akhirnya dia minta diskors.

Zaid memijit keningnya, menghela nafas pelan. Dia seakan semakin mengerti bahwa ada sesuatu yang cukup besar sampai membuat Sulh diskors hanya karena pertengkaran sepele. Ataukah pertengkaran memang setabu itu di pesantren? Zaid tidak tahu.

"Jika aku diberi izin masuk ke pondok ini, apa itu berarti aku juga memiliki izin untuk menemui Kyai?" Tanya Zaid langsung menuju intinya. Sorot matanya yang tajam mencerminkan bahwa dia sedang sangat serius.

"Iya.. tunggu! Apa maksudmu?" Sulh menatap Zaid dan menyadari bahwa dia sedang serius, menyusun rencana. Tapi ayolah, tidak ada satu pun santri yang 'menyerahkan diri' kehadapan Kyai ketika tengah terlibat kasus seperti ini. Terlebih Zaid masih kelas satu, sangat nekat apabila dia serius ingin menghadap Kyai saat ini.

"Jangan bilang kau.."

"Ya, aku akan menghadap Kyai untuk membelamu. Tapi jangan terlalu berharap, aku hanya anak kelas satu disini. Terlebih aku tidak tahu sedikit pun tentang kasus yang sebenarnya. Aku hanya akan sedikit bertukar pendapat dengan alibiku, sebisaku."

Zaid merapihkan pakaiannya yang sedikit kusut. Meminjam peci Sulh dan mengenakannya. Bertemu Kyai harus berpakaian rapih bukan?

"Kau tunggulah disini. Berdo'alah aku kembali dengan kabar baik." Zaid menepuk pundak Sulh, tersenyum tipis.

🕌 🕌 🕌

"Aku mau menghadap Kyai."

Sepatah kalimat itu mengejutkan Haidar dan Ustadz Khalid yang tadinya sedang berbincang. Kini menatap Zaid tidak percaya, sama-sama terdiam.

"Jangan diam saja. Tolong antar aku menghadap Kyai."

Ustadz Khalid dan Haidar beranjak dari duduknya. Mereka sama sekali tidak mengerti apa yang direncanakan Zaid.

"Uqta, kau tidak bercanda 'kan?" Haidar menatap Zaid lekat-lekat, dan tidak ada unsur bercanda ataupun ragu dari matanya.

"Apa aku terlihat seperti sedang bercanda?" Jawab Zaid penuh keyakinan. Inilah sisi Zaid yang pertama kali dilihat Sulh dan Haidar. Bagi Zaid, tidak ada kata takut untuk membela teman yang benar.

Tinggi tubuhnya yang dibawah rata-rata tidak mengurangi aura keteguhannya akan rencananya sendiri. Senyum tipis dan tatap penuh keyakinannya sangat berbeda dari keseharian Zaid yang hanya adik kelas baru. Bagi Sulh dan Haidar, Zaid yang seperti ini tidak pernah terpikirkan sebelumnya akan bisa melakukan hal senekat ini.

Rencana yang tersusun dalam waktu secepat kilat ini dirasa cukup, karena keterbatasan informasi hanya ini yang bisa Zaid lakukan untuk saat ini. Tapi Zaid akan mengerahkan kemampuan negosiasinya, dan boleh jadi ini akan menjadi salah satu negosiasi terbesar dalam hidupnya. Mereka pun mulai berjalan ke tempat Kyai berada.

Haidar tahu pandangan sekitar padanya adalah pemuda yang penuh wibawa dan kepemimpinan yang bagus. Nyaris tiada tandingannya, setidaknya di Al-Hijr. Namun Haidar akui, dalam kecepatan bertindak dan kematangan rencana, juga dalam refleks yang efektif dalam menghadapi suatu masalah Zaid masih jauh di depan Haidar. Dan Haidar bangga mengakui hal itu, tersenyum penuh penghargaan pada Zaid.

Kini mereka sudah sampai di depan rumah sederhana milik Kyai. Orang yang dihormati bukan hanya di pesantren ini, tapi juga di negri ini.

Zaid berbalik, tersenyum tipis. Tanpa terbesit sedikit pun keraguan. "Aku akan masuk, do'akan aku agar lisanku melakukan hal yang semestinya tanpa melupakan adabku pada guru kita."

"Itu pasti, Zaid Faruqta. Lakukanlah apa yang kau hendaki tanpa keluar dari batas adab." Ustadz Khalid tersenyum.

"Berjuanglah. Sedikit bantuan dariku, Kyai adalah mantan politisi yang paling berpengaruh di negri ini. Kau bisa bayangkan sendiri skill negosiasi atau berdebatnya." Haidar menepuk pundak Zaid.

Zaid melebarkan senyumnya. "Aku tahu. Ketika aku memutuskan untuk bernegosiasi maka saat itu aku sudah faham betul karakter lawan bicaraku. Tapi terima kasih informasinya."

Zaid berdiri tepat di depan pintu. Dengan tegas namun bernada lembut, salam diucapkan.

Jawaban salamnya terdengar dari sang rabbatul bait. "Tafaddhal! Udkhul!"

Setelah itu Zaid memasuki rumah bernuansa putih-hijau itu. Meninggalkan Ustadz Khalid dan Haidar yang hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi kasus Zaid dan Sulh. Penuh harap pada Sang Pencipta senja kemerahan yang saat ini terlukis di langit, terus membuat orang lain jatuh cinta pada senja setiap harinya. Namun sayang manusia sering lupa untuk mencintai Rabb pencipta segala yang dicintai manusia.

Di dalam Kyai tersenyum ramah menyambut Zaid. Zaid membalas senyuman itu dengan sopan.

"Tafaddhal! Ijlis!" Padahal status Zaid adalah muridnya, dan ini pertama kali baginya bertatap muka langsung dengan Kyai. Tapi Kyai memperlakukannya seolah Zaid adalah tamu kehormatannya, bicara dengan nada akrab seakan Zaid adalah kawan lamanya.

Masya Allah, baik sekali akhlaknya ketika memperlakukanku sebagai tamunya padahal aku hanyalah muridnya. Pikir Zaid tersenyum. Duduk di salah satu kursi yang ada.

Kyai kembali dari dapur membawa nampan dengan dua buah cangkir dan satu teko berwarna putih. Kyai menuangkan teh ke dalam dua gelas itu dan menyodorkan salah satunya kepada Zaid.

Kyai tersenyum bersahabat."Tafaddhal! Asyrib!"

Zaid terkejut. "E-eh, terima kasih Kyai. Tapi tidak perlu repot-repot begitu."

Kyai tersenyum, mengaduk teh tersebut dengan sendok kecil. "Kamu tahu hadist nabi tentang memuliakan tamu?"

"Tahu, Kyai. Memuliakan tetangga adalah bentuk keimanan pada Allah dan Hari Akhir." Jawab Zaid fasih. Kebetulan mengkaji Al-Qur'an dan Hadist adalah salah satu bidang kesukaannya.

"Nah kamu benar. Saya punya tamu dan Alhamdulillah saya berkecukupan, jadi tidak ada alasan bagi saya untuk tidak memuliakan kamu sebagai tamu saya." Ucapnya memberikan Zaid pengertian.

"Fahim, Kyai." Zaid mengangguk mengerti. Perlahan menerima cangkir itu, pas sekali dia butuh minuman untuk melepas kekeringan dahaganya.

"Saya lebih suka dipanggil Abi. Santri-santri saya sudah saya anggap anak sendiri." Pinta Kyai tersenyum.

"Jazakillah Khair, Abi. Saya hampir lupa, perkenalkan nama saya Zaid Faruqta santri kelas satu " Ucapnya meletakkan kembali cangkir yang tersisa separuh isinya. Menatap Kyai serius, dengan senyum terbaiknya.

"Namamu bagus, Zaid. Banyak sahabat yang mulia akhlaknya bernama Zaid. Dan Faruqta adalah julukan bagi Umar bin Khattab bukan?" Kyai mengangguk-angguk takjub.

"Benar sekali, Abi." Senyum Zaid merekah. Dia menyukai nama miliknya.

"Semoga kamu bisa sehebat Umar bin Khattab ya, Id." Do'a dari Kyai untuknya, yang In Shaa Allah dikabulkan.

"Aamiin. Allahuma Aamiin." Zaid menangkupkan tangannya.

Kyai tersenyum sebagai balasannya. "Saya suka kunjungan dari santri-santri saya. Kunjungan kemari tidak harus mengantongi alasan yang berbobot. Kunjungan sekedar untung mengobrol saja boleh, pintu rumah saya selalu terbuka untuk santri-santri saya."

Zaid mengangguk sopan. "Kedatangan saya kesini adalah untuk membicarakan masalah saya dengan Sulh, Abi."

Kyai tersenyum tertarik. Saat itu dia merasa Zaid berbeda dari yang lain. "Tafaddhal!"

Şaghirul MujahidunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang