"Ehehe, maaf. Saya melihat kaligrafi yang bagus sekali tadi, tanpa sadar saya berjalan mengikutinya." Hunain tertawa pelan.
Zaid menghela nafas lega. Dan Sulh hanya menatapnya tanpa ekspresi.
"Yang penting kamu sudah ketemu." Zaid tersemyum maklum.
Sulh memutar bolamatanya, mendengus pelan. "Jangan diulangi lagi. Bahkan anak kecil saja izin dulu jika harus pergi, memangnya kau tidak diajarkan itu di taman kanak-kanak?"
Zaid melemparkan pandangan mencekam pada Sulh. Menyikutnya pelan.
"Apa? Aku benar 'kan?" Sulh tidak merasa ada yang salah dari kalimatnya.
Zaid menghela nafas. Mengabaikan kritikus satu itu. "Wah, aku keduluan Hunain. Aku belum mendaftar nih."
Hunain tertawa pelan. Memang, dirinya langsung mendaftar tanpa pikir panjang tadi. "Apa ada jenis eskul yang menarik perhatian Zaid?"
Apa aku benar-benar diacuhkan? Tanya Sulh dalam hati.
Zaid mengangguk. "Sepertinya aku cukup tertarik dengan pidato."
"Apa? Tidak! Jangan pidato!" Sulh terang-terangan menolak.
"Hah? Apa masalahnya denganmu?"
"Meyakinkan orang dengan argumentasi samasekali tidak cocok denganmu! Sangat jauh bagimu untuk selihai Haidar."
"Apa? Maksudmu aku payah begitu?"
"Cih. Kau lebih pantas masuk hadroh. Pokoknya kau harus masuk hadroh!"
"Hah? Jika kau bilang aku tidak cocok berargumen, maka lebih tidak cocok lagi masuk ekskul semacam hadroh!"
"Kalian.." Hunain mulai berpikir Zaid dan Sulh bagaikan air dan api.
"Sudahlah! Ayo, Hunain. Kita pergi kesana." Zaid mengembalikan permen kapasnya. Menarik tangan Hunain.
"A-ah!" Bukan karena ditarik terlalu kencang. Hunain tidak enak hati meninggalkan Sulh yang sekilasn tampak merasa bersalah.
"Zaid marah?" Cicit Hunain. Takut-takut meliriknya.
"Tidak." Zaid menghentikan langkahnya. Setelah merasa cukup jauh dari Sulh. Berbalik menatap kawannya itu.
Hunain menatap Zaid, menelusuri apa yang ada dibalik mata teduh itu.
Zaid tersenyum. "Kalau dilanjutkan nanti, yang ada malah menarik perhatian orang-orang sekitar. Aku sendiri tidak bisa jamin bahwa aku bisa mengontrol emosiku sendiri."
"Syukurlah, kukira Zaid marah."
Zaid melempar arah pandangnya, begitu jauh. Menerawang entah apa disana. "Kalau pun aku marah, memangnya dia peduli?"
"Eh?" Hunain hanya mendengar sekilas, tidak begitu yakin dengan apa yang didengarnya.
"Wah, lihat! Di panggung ada pertunjukkan public speaking!" Zaid berseru antusias.
"Benarkah?"
"Ya! Ayo kita lihat, Hunain!"
"Ayo!"
🕌 🕌 🕌
"Akhirnya, itu dua anak akur lagi!" Salman tertawa.
Layaknya penguntit, dua anak itu kompak mengintip adegan berbaikan Syam dan Mehmed dari balik semak. Tertawa pelan. Kalau saja mudabbir tahu, mungkin mereka dikira sedang mencoba kabur.
"Sudah kuduga." Komentar Faris, tanpa berekspresi sedikit pun. Namun Salman tak pernah memedulikan hal itu dan tetap mengajak anak itu mengobrol.
"Huh? Bagaimana bisa Faris menduganya semudah itu? Berdasarkan alasan apa coba?" Salman, yang kepalanya berada di atas Faris, mendaratkan dagunya di atas rambut rapihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Şaghirul Mujahidun
AcakKata orang, pondok pesantren adalah tempat yang membosankan lagi menyeramkan. Tapi hal itu tidak berlaku di Pondok Pesantren Al Hijr, terlebih lagi di kamar Salahudin Al Ayyubi. Kamar unik yang dihuni 8 lelaki dengan berbagai sifat. Ragam sifat yang...