( ٤٢ ) Berangkat!

15 6 0
                                    

"Silahkan, Tuan Muda Syam." Seorang pria dengan pakaian semi-formal itu menunduk, memberi hormat pada Syam. Sementara yang lain mati-matian menahan tawa melihatnya.

"Ah, ya, terima kasih. Tapi ketika ada kawan-kawanku kau boleh memanggilku Syam saja." Pinta Syam dengan wajah risih. Sebenarnya dia tidak pernah suka dipanggil begitu, dan semakin tidak suka karena dilihat oleh kawan-kawannya.

"Jangan begitu, Tuan Muda. Saya tidak enak hati pada Tuan Besar dan Nyonya Besar." Pria itu bereskpresi kaku, namun terlihat bahwa dia sangat menghormati majikannya.

"Huft, ya sudah. Oh iya, perkenalkan, ini Mas Edy. Dia orang yang paling sering mengantarku kemana saja." Jelas Syam, Mas Edy membungkuk sedikit tanda hormat sambil tersenyum kaku.

"Oh iya, ini aku minta pakai mini bus. Habisnya kalian pasti tidak mau kalau aku ajak naik mobilku." Syam menjelaskan selagi satu per satu tas dinaikkan ke bagian atas mini bus.

"Tentu saja tidak mau, mobilmu 'kan mobil sport semua." Protes Mehmed. Tentu saja sangat mencolok membawa mobil mewah ke area pesantren.

"Oh iya, mini bus ini ada empat baris selain bagian sopir. Jadi kita bisa duduk berdua-dua saja agar tidak terlalu sempit." Jelas Syam, terlihat seperti tour guide yang profesional.

Hal yang membuatnya semakin nyaman adalah setiap baris tersedia pintu masing-masing yang memudahkan mobilitas. Secara acak, satu per satu mulai menaiki mini bus setelah meletakkan tas di bagasi yang terletak di atas dan belakang. Haidar pun membantu Mas Edy membantu merapihkan tas di bagasi atas, sementara sisanya membantu merapihkan bagasi belakang.

Syam masuk ke barisan belakang dengan wajah jahilnya, sementara Mehmed sudah duduk tenang di sebelahnya. Sepertinya Mehmed akan menjadi korban kejahilan Syam sepanjang perjalanan. Salman dan Faris selaku tuan rumah duduk persis di belakang supir, agar memudahkan komunikasi untuk menunjukkan jalan pada Mas Edy.

Zaid memasuki baris ketiga dengan ranselnya, juga kupluk yang menutupi sebagian rambut coklatnya. Di sana sudah ada Sulh yang menutupi sebagian wajahnya dengan hoodie jaketnya, bersiap tidur nampaknya.

"Oh? Kukira Hunain tadi. Kau nampaknya." Zaid menutup pintu, lalu membuka sedikit hoodie yang menutupi mata Sulh.

"Eh? Kau kenapa? Seperti habis naik roller coaster saja." Zaid hampir tertawa melihat kawannya itu dengan mata terlelap dan sedikit rona pucat. Pasalnya lima menit lalu dia masih normal bahkan sempat mengomeli Syam, dan sekarang sudah tergeletak begini.

"Zaid? Kenapa kau yang disini? Sebaiknya jangan duduk denganku kalau tidak mau direpotkan." Sulh yang tadi sudah hampir masuk ke dalam mimpi kembali tersadar, membetulkan posisi duduknya.

"Kenapa begitu?" Selidik Zaid, merasa terusir secara tidak sadar.

"Biasanya aku duduk dengan Haidar kalau jalan-jalan begini. Yah, aku mabuk kendaraan darat." Sulh terang-terangan menjelaskan, meski menahan gengsi setengah mati. Dan Zaid justru tertawa pelan mendengarnya.

"Jangan begitu, Haidar juga harus menjaga Hunain. Kondisinya 'kan masih belum seratus persen stabil setelah keluar dari rumah sakit." Jelas Zaid merapihkan ranselnya agar dia bisa duduk dengan nyaman. Nampaknya dia tidak keberatan dengan Sulh yang mabuk darat.

"Kuperingatkan kau tidak bisa tenang duduk di sampingku selama perjalanan kecuali aku tidur." Sulh bertopang dagu, membuat lawan bicaranya berubah pikiran adalah hobinya.

"Oh ya? Itu bukan masalah. Aku bisa membantumu jika kau butuh bantuanku." Ucap Zaid tidak peduli, masih fokus dengan barang-barangnya.

"Huh? Jangan bercanda. Kau jauh lebih mudah sakit daripada aku." Sulh tidak mau kalah tentunya. Sementara itu mini bus mulai berjalan.

Şaghirul MujahidunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang