12

13 0 0
                                    

5 bulan kemudian

Zoey merasa sangat kesal dan kecewa dengan dirinya sendiri. Di saat hari masih gelap, ia sudah terduduk di dapur sembari menangis, ditemani beberapa serangga yang mendekatinya.

Perut Zoey sudah semakin membesar. Tiap kali melakukan check-up, dokter mengatakan Zoey harus istirahat total. Zoey sudah melakukan apa yang disarankan oleh dokter, namun tubuhnya masih saja merasa sangat lelah dan ja juga sering merasa pusing.

Kemarin adalah hari pengumuman kelulusan teman-temannya. Suatu hal yang bodoh kalau Zoey yang keadaannya seperti ini membuka sosial media dan melihat teman-temannya mengunggah gambar kelulusan mereka.

Tidak sedikit juga yang mengunggah foto bukti bahwa mereka sudah diterima di universitas-universitas yang mereka inginkan.

Zoey menangis dengan menahan suaranya. Ia tidak tahan melihat sosial media berlama-lama. Bahkan sahabatnya, Tina, tidak memberinya kabar sama sekali.

Zoey tetap menatap layar ponselnya dan melihat posting-an Aiden. Pemuda itu nampak sangat bahagia dengan senyum lebarnya bersama teman-temannya didepan universitas yang terkenal dengan kemahalan pembayarannya. Tidak heran kalau Aiden dan teman-temannya bisa masuk ke sana, karena mereka dari kalangan atas yang kalau mereka mau, mereka bisa membeli universitas itu.

Zoey menekan kembali layarnya dan yang tampil adalah potret Aiden dengan gadis yang ia lihat di restoran itu. Semakin deras lah air mata Zoey dan ia menutup mulutnya agar tidak terdengar suaranya sampai ke telinga Mia.

Dia mematikan ponselnya dan menghapus air matanya. Lalu ia terkesiap saat ada suara yang datang dari pintu depan rumah Mia.

Zoey langsung berdiri dan mengambil spatula besi milik Mia. Ia memegangnya erat-erat dan berjalan ke ruang tamu. Saat kenop pintu terbuka, Zoey sudah dalam keadaan siap memukul kepala pencuri itu.

Namun saat ia ingin melayangkan tangannya, Aaron sudah berada di hadapannya dan mengangkat tangannya mencoba meraih benda yang dipegang Zoey.

"Zoey! Ini aku, Aaron." Bisikan Aaron.

"Ka Aaron? Kok jam segini sudah pulang?" Tanya Zoey sembari menatap jam yang ada di dinding dan menunjukkan pukul empat pagi.

"Kamu sendiri jam segini kenapa udah bangun? Muka kamu juga sembab banget. Habis nangis?" Tebak Aaron sembari melepas sepatunya.

"Hah? Enggak kok! Aku nggak habis nangis." Zoey mengusap wajahnya kasar.

"Udah, nggak usah bohong. Kamu tuh nggak pinter bohong." Kata Aaron sembari berjalan ke dalam rumah dan duduk di sofa ruang tamu.

Zoey pun mengikuti jejak Aaron dan duduk di sebelahnya.

"Kenapa kamu nangis?" Tanya Aaron.

"Hari ini hari kelulusan sekolah. Teman-teman aku udah pada masuk universitas yang mereka mau. Aku cuma sedih aja, inget soal perjuangan aku dulu yang sama kayak mereka, dan aku berakhir kayak gini." Jawab Zoey dengan mata yang berkaca-kaca.

Aaron menoleh ke arah Zoey. "Memang berat pasti, melihat teman udah meraih mimpinya sedangkan kamu bergerak maju pun nggak bisa. Aku ngerti itu. Tapi kamu juga nggak bisa menyalahkan kondisi kamu sendiri." Kata Aaron.

"Aku ngga punya alasan untuk engga menyalahkan kondisi aku, kak." Zoey kembali menangis.

"Heh, hey jangan nangis. Walaupun teman-teman kamu sudah bisa masuk universitas, tapi kamu punya sesuatu yang mereka nggak punya, Zoey."

"Apa itu kak?" Tanya Zoey.

"Kamu punya tanggung jawab seorang ibu. Kamu hebat bisa melewati ini semua tanpa ada pemikiran untuk bunuh diri. Dan juga, aku belum pernah denger kamu mengeluh ke Tuhan tentang kondisi kamu. Nggak semua orang bisa kayak kamu, tetapi kaka yakin, kamu bisa sehebat mereka." Jawab Aaron.

Sweet MistakeWhere stories live. Discover now