15

16 1 0
                                    

Zoey masuk ke dalam kamar Abraham di pagi hari. Ini jadwalnya memberikan obat kepada Abraham.

Ia memegang nampan dengan segelas air putih hangat dan beberapa butir obat di atas wadah kecil di sebelah air putih itu.

Di dalam ruangan Abraham sedang mengobrol dengan seorang pria yang tidak Zoey kenal.

"Permisi, pak. Ini saya bawakan obatnya," Ucap Zoey.

Abraham dan Pria itu menoleh bersamaan. "Ah, Zoey. Kemari nak kemari. Nampan nya kamu taruh aja di atas meja itu." Abraham menunjuk meja kecil yang ada di sisi kamarnya.

Zoey menuruti perkataan Abraham dan meletakkan nampan itu. "Ini sudah waktunya pak Abraham minum obat, pa."

Abraham mengangguk. "Iya. Nanti saya minum obatnya. Kamu belum kenalan kan sama Oliver? Nah, ini Oliver, suaminya Elisabeth."

Zoey mendekat lalu mengulurkan tangannya ke arah Oliver. Oliver menyambut uluran tangan Zoey dengan ramah.

"Zoey." Cicit Zoey.

"Aku bakal ngasih tau kamu semua hal tentang obat-obatan papa." Ucap Oliver.

"Dia dokternya disini." Sambut Abraham dengan tawa renyahnya. Ia terlihat sehat dan tidak lemah sedikit pun. Suaranya masih lantang dan bicaranya tidak terbata-bata. Deru nafasnya juga masih normal.

"Oke, pa. Nanti aku bilang ke Lisa. Aku jalan dulu ya, pa." Oliver menepuk bahu Abraham lalu ia keluar dari kamar, meninggalkan Zoey dan Abraham.

"Ada lagi yang dibutuhkan pak?" Tanya Zoey.

"Kamu tarik bangku itu dan duduk di sebelah sini. Saya mau nanya-nanya banyak hal sama kamu." Ucap Abraham.

Zoey menelan salivanya. Ia sangat takut kalau saja Zoey ditanyakan yang tidak-tidak, lalu ia tidak bisa menjawab nya dan bisa jadi hari ini ia dipecat. Ia pun menuruti perkataan Abraham dan menarik sebuah kursi di dekat meja tadi ke sisi kasur Abraham.

"Kamu sempat sekolah?" Tanya Abraham.

Zoey mengangguk.

"Sampai jenjang apa?" Tanya Abraham lagi.

"SMA saja, pak."

"Kamu lulus SMA?" Tanya Abraham.

Zoey menggelengkan kepalanya.

"Kenapa kamu bisa nggak sekolah sampai lulus? Kendala keuangan?" Tanya Abraham yang mulai tertarik dengan topik perbincangan ini. Pria paruh baya itu duduk dan mengekkan tubuhnya, menunggu jawaban dari Zoey yang sedang berpikir keras menyusun jawabannya.

"Eumm... Anu, pak. Pas SMA saya mengalami musibah." Jawab Zoey.

"Musibah nya datang karena takdir atau karena kesalahan kamu sendiri?" Tanya Abraham.

Zoey melongo. "S-salah saya sendiri, pak." Lalu ia menundukkan kepalanya.

"Saya tau kamu. Saya pernah lihat berita kamu yang jadi bahan omongan orang-orang."

Ucapan Abraham itu sangat menohok hati Zoey. Ia tidak tau kalau masa kelamnya itu bisa tersebar bahkan sampai masuk ke dalam pikiran seorang sukses seperti Abraham.

"Pas tau nama kamu itu Zoey dan kamu bawa satu orang anak ke dalam rumah ini, saya langsung ingat dengan berita itu. Kamu ini SMA di sekolah samping sekolah Aiden, kan?" Tanya Abraham lagi.

"I-iya, pak." Jawab Zoey dengan terbata-bata.

Abraham menghembuskan nafasnya. "Saya sempat kurang yakin tentang kamu. Masa lalu kamu yang bikin saya nggak yakin. Tapi saya tau kalau pilihan Lisa bukan lah pilihan yang sembarangan. Jadi, saya harap kamu tidak merusak kepercayaan saya dan Lisa. Karena kami berdua bahkan satu rumah ini sudah tau tentang masa lalu kamu dan berita buruk kamu itu. Kamu keliatannya baik. Saya harap kamu memang benar-benar anak yang baik." Ucap Abraham.

Sweet MistakeWhere stories live. Discover now