•Part 1•

96 6 0
                                    

Pukul 06.15. Gadis berkulit putih bersih dengan rambut hitam kecokelatan menatap pantulan dirinya di cermin. Seragam lengkap dengan almamater bertuliskan SMA Airlangga. Atensinya teralihkan pada benda pipih yang bergetar di atas meja belajarnya. Dua pesan beruntun bertengger di sana.

DelaMaheswari:
Aleaaa! Jangan sampe telat ke sekolah. Hati-hati di jalan. Gue tunggu!

RafiLesmana:
Pagi Alea. Aku udah di depan ya.

Azalea Artaminanda. Gadis berperawakan ramping tetapi tidak terlalu tinggi itu baru saja kembali ke Indonesia dua hari yang lalu. Dua tahun terhitung sejak kelas 2 SMP dia tinggal di Australia karena bisnis keluarganya. Dua orang yang baru saja mengirimkan pesan itu adalah sahabat sedari kecilnya.

Alea tersenyum. Setelah mengetik balasan untuk dua orang sahabatnya itu, dia bergegas menyabet tas dan segera keluar dari kamarnya.

Alea berjalan cepat sampai di depan rumah. Terlihat seorang laki-laki yang tengah bersandar di depan kap mobilnya dengan tangan terlipat di dada.

“Hai Raf,” sapa Alea dengan wajah berseri dan sedikit ngos-ngosan.

“Eh Al. Udah ngos-ngosan aja pagi-pagi. Nggak usah buru-buru gitu. Aku nggak kemana-mana kok.” Rafi terkekeh pelan. Alea hanya nyengir kuda.

“Gimana Ibu Menteri, udah siap belajar di SMA Airlangga?” tanya Rafi lantang. Mata Alea membulat.

“Siap Kapten!” jawab Alea dengan sikap hormat. Tawa mereka tercipta di pagi yang cerah itu. Tak tahan dengan tingkah Alea, Rafi mengacak rambut gadis di depannya gemas. Tanpa dia tahu, sikapnya ini membuat desir aneh di hati Alea.

📜📜📜

Ketika orang lain mengawali hari dengan hangat, seorang remaja laki-laki di ujung sana masih harus bergelut dengan paginya yang entah kapan akan terasa cerah.

Setiap hari dia selalu dihadapkan dengan hal-hal tak terduga. Laki-laki dengan masker dan jaket yang melekat di tubuh jenjangnya itu tengah bersiap menjalankan rutinitasnya. Dia memasukkan sebendel kertas bertuliskan Kajian Ilmiah oleh Hiroarta Nugroho ke dalam tasnya.

Ma, Pa. Doain Arta, semoga hari ini berjalan baik. Ucap batin Arta setiap pagi, sambil menatap figura dengan foto kedua orang tuanya.

Arta melirik jam di meja belajarnya, 06.17. Dia bergegas keluar kamar dan menuruni tangga.

“Heh, mau kemana lo?”

Terdengar suara berat dan lesu khas orang mabuk saat Arta akan melewati ruang tamu. Dia memilih tidak peduli dan kembali melangkah. Kali ini dia sedang tidak ingin membuang waktunya untuk meladeni seseorang yang mungkin malah membuat paginya semakin berantakan.

Tanpa Arta sadari, laki-laki urakan yang tadinya duduk santai di sofa kini beranjak dari posisinya. Dia mencengkeram bahu Arta dari belakang, membuatnya terpaksa berbalik.

Bugh!

Tulang pipi Arta memerah.

“Kalo ditanya tu dijawab! Bisu lo!?” sentak lelaki itu.

Sebenarnya, tanpa dijawab pun anak TK juga tahu bahwa Arta akan berangkat sekolah. Kembali lagi, laki-laki di hadapan Arta ini memang tidak punya otak apalagi hati.

“Lo bisa liat sendiri kan?” balas Arta malas.

“Argh, serah deh lo mau kemana. Yang penting kakak lo yang ganteng ini laper, mau sarapan.”

Ya, laki-laki yang tengah berjalan menuju dapur itu adalah kakak Arta satu-satunya—Devano Nugroho. Entah mengapa, Devan sedikit keterlaluan kali ini. Bahkan, dia baru pulang saat hari sudah pagi.

Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang