•Part 4•

31 3 0
                                    

“Eh Suneo, ini gimana sih kok punya gue hasilnya minus kek otak lo?” Ini Feri yang sedang bertanya kepada Ihsan. Seperti kelas lainnya, IPA 3 hanya diberi tugas karena guru yang mengampu mata pelajaran di jam pertama pergi takziah.

“Udah ngehina gue, masih berani lo nanya?” sewot Ihsan yang masih sibuk mencatat jawaban. Rafi? Masih fokus mengotak-atik soal matematika yang begitu mengasyikkan baginya.

Feri nyengir kuda sambil merengek agar diajari oleh Ihsan yang notabene adalah teman sebangkunya. Sedangkan, Ihsan sendiri masih mengabaikan Feri. Siapa suruh dia mengacau Ihsan yang sedang serius. Jika sudah begini, Feri sendiri yang repot karena Ihsan tak mau mengajarinya. Meminta bantuan Rafi? Bahkan, Feri sudah tahu jawaban dari sahabatnya itu. ‘Baca ulang soalnya. Pahami. Cari pelan-pelan. Gue yakin lo bisa.’

“Raf!”

“Rafi!”

Terdengar suara teriakan dari luar kelas yang bahkan dengan pintu kelas tertutup. Tak lama, pintu kelas dibuka dengan kasar. Menampilkan seorang siswi yang familiar di mata Rafi. Dia mendekat. Rafi terheran. Sedangkan Feri dan Ihsan bersiap untuk menyimak.

“Woy Dela, kenapa sih lo? Udah kangen sama gue? Pake lari segala mau nyamperin gue.” Feri sungguh percaya diri. Padahal jelas-jelas, Dela tidak memanggil namanya.

“Tingkat ke-gr-an lo dikurangin dikit bisa nggak? Nyamber aja lo kek laron!” sahut Dela jutek.

Dela mencoba mengatur napasnya. Rafi menunggu kelanjutan dari apa yang akan diucapkan Dela.

“Alea—” Mata Rafi membulat begitu mendengar satu kata itu.

“Dia kenapa?”

“Alea di UKS. Dia—”

Belum selesai Dela menjelaskan, Rafi sudah mengambil langkah seribu meninggalkan kelas begitu saja. Dia berhenti dan menguping sejenak apa yang terdengar dari dalam sana.

“Kamu ngerti bahasa manusia nggak sih?!”

Arta bertanya lantang di depan wajah Alea. Kini posisi Alea berada di dalam kungkungan Arta. Tubuh gadis itu melekat di tembok dengan kedua tangan Arta di samping kanan dan kirinya.

Beberapa menit yang lalu setelah Arta sadar, Alea kembali menyampaikan maksudnya. Membujuk Arta lagi dan lagi agar mereka bisa mengikuti kompetisi itu. Sebagian orang mungkin berpikir, apa susahnya menjadi satu tim? Namun, bagi Arta semua itu tidaklah semudah yang pikirkan. Sebisa mungkin dia menghindari pemicu hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Alea masih terdiam di tempatnya. Menatap wajah Arta dengan lekat tanpa tertutup masker lagi. Ketika dia pingsan, petugas UKS memang melepas maskernya agar Arta tidak kesulitan bernapas. Sejak Alea bersekolah di sini, baru kali ini dia melihat wajah Arta dengan jelas.

Alea menelisik tiap lekuk paras laki-laki yang berjarak tidak sampai satu jengkal darinya. Manik karamel dan bulu mata yang lentik. Hidung mancung, bibir yang terlihat kemerahan, dan tulang wajah yang terpahat sempurna. Ditambah lagi, rambut yang sedikit berantakan membuatnya tampan di atas rata-rata. Namun, di sisi lain, batinnya bergemuruh penuh tanya. Luka lebam menghiasi beberapa titik wajah tampan Arta. Alea hampir saya bertanya apa penyebabnya. Namun, mengingat Arta yang tidak membiarkan siapapun memasuki dinding kehidupannya, Alea menelan kembali pertanyaannya.

“Apa ini salah satu upaya kamu biar saya menyerah?” Pertanyaan itu yang akhirnya terlontar. Sejujurnya, tanpa Alea sadar, dia telah menemukan kehangatan sekaligus penderitaan dari mata Arta.

“Kalau iya, kamu salah Arta! Cara kamu ini nggak akan bikin saya mundur. Kalaupun pada akhirnya saya harus menyerah, saya akan bikin kamu meminta saya untuk kembali berjuang.”

Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang