•Part 7•

21 2 0
                                    

Dela baru saja menyelesaikan tugas sekolah, saat pintu rumahnya diketuk oleh seseorang. Besok hari libur. Entah angin dari mana yang menyuruhnya untuk menyelesaikan tugas yang menumpuk itu. Dela hanya berpikir, memang hari libur seharusnya digunakan untuk bersantai.

Ketukan semakin sering menandakan belum ada tanda-tanda akan dibuka oleh sang empu. Dela sedikit mendengus, pasalnya rencana untuk merebahkan badannya harus tertunda.

“Mama udah tidur kali ya, sampe nggak denger ada tamu,” gumam Dela kemudian beranjak keluar kamar dengan malas.

“Iya, sebentar!” seru gadis dengan rambut sebahu yang diikat separuh.

Cklek

Deg. Dela tak bisa menggerakkan tubuhnya. Matanya menerawang jauh, mencoba mencerna apa yang baru saja dialaminya. Saat ini, Rafi tengah memeluknya dengan erat. Menjadikan dirinya seolah sebagai tumpuan terakhir.

“R-raf, lo—”

“Sebentar aja Del.”

Dela ingin mencoba memberikan kalimat penenang laki-laki yang mendekapnya, tetapi Rafi seolah tak membutuhkannya. Rafi malah semakin mengeratkan pelukannya. Sedangkan Dela? Gadis itu hanya bisa memberikan peluk balasan yang sebenarnya sudah lama dia harapkan.

“Malam ini gue nginep ya. Mama lo ada di rumah kan?” ucap Rafi setengah bergumam, tetapi Dela masih bisa mendengar dengan jelas. Terlebih, Rafi berucap dalam posisi masih memeluknya. Dela hanya mengangguk sebagai jawaban.

Di ujung sana, Alea menyeka air matanya kasar. Kejadian tak terduga siang tadi entah mengapa membuat cairan yang menumpuk di pelupuk matanya tak mau berhenti meluruh. Sesak dan perih menjadi rasa yang memenuhi hatinya saat ini.

Arta, Arta, dan Arta.

Nama yang sama sekali tak pernah mengizinkan Alea memasuki kehidupannya, dengan alasan skenario hidupnya yang buruk. Namun, otaknya tidak bodoh untuk mempercayai kalimat Arta begitu saja. Entah alasan apa yang digunakan laki-laki itu, nyatanya malah membuat Alea semakin tak bisa menuruti kata-katanya. 

Rentetan peristiwa ini disebabkan olehnya, secara tidak langsung. Jelas karena keinginan untuk menembus pertahanan Arta dan ambisi untuk kompetisi yang diinginkannya. Padahal, orang-orang di sekitarnya sudah memperingatkan sedari awal. Terbukti karena keras kepalanya itu, Arta celaka. Dan Rafi…

“Rafi.” Alea bergumam seolah tersadar dari pikirannya yang kusut.

📜📜📜

Pukul 01.23. Rafi mengarahkan motornya memasuki halaman yang luas. Dengan mata yang sedikit berat karena mengantuk, netranya menangkap sesuatu yang berhasil membuat matanya membulat sempurna. Rafi membawa langkah tergesanya ke teras. Menatap dalam seseorang yang tidur bersandar di tembok rumahnya. Badan Rafi meluruh, menyejajarkan posisinya dengan orang di hadapannya.

Omong-omong, Rafi tidak jadi menginap di rumah Dela. Setelah sempat tertidur beberapa saat, sesuatu memaksanya untuk kembali ke rumah. Dia tidak tahu pasti apa yang mengharuskannya pulang. Namun, sepertinya sekarang dia mendapatkan sebuah jawaban.

“Alea,” panggil Rafi yang lebih seperti gumaman.

Sang empu nama merasa terusik. Dia menggeliat pelan, mengerjapkan matanya berkali-kali. Perempuan yang rambutnya terurai bebas itu tersentak mendapati seseorang di hadapannya.

“Al, kok nggak masuk?”

Rafi bertanya lembut. Hatinya teriris melihat orang bak permata yang selalu dijaganya itu terlihat begitu rapuh. Dirinya merasa gagal karena tidak bisa ikut menopang beban yang ditanggung. Sedangkan, Alea merasa dia takut melihat sorot mata Rafi. Manik malaikat pelindungnya itu menyiratkan kehangatan, sekaligus kilat kemarahan.

Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang