•Part 22•

18 0 0
                                    

“Oke, selanjutnya kelompok 3 silakan maju.”

Alea dan ketiga anggota kelompok lainnya bergerak ke depan kelas untuk presentasi hasil praktikum. Masih ada 15 menit, sebelum bel istirahat pertama berbunyi. Suasana di luar kelas tampak sepi karena para siswa masih sibuk di kelas masing-masing.

Tok tok tok

Atensi semua orang yang berada di kelas XI IPA 2 teralihkan oleh suara pintu yang diketuk.

“Permisi Bu,”

“Mohon maaf mengganggu. Izin menyampaikan pesan dari Pak Dika. Beliau meminta Alea untuk ke ruangannya sekarang,” tutur salah satu murid kelas sebelah.

Setelah meminta izin dan mendapat persetujuan dari Bu Abel—guru Biologi—Alea bergegas keluar kelas. Dia menutup pintu kelas kemudian berbalik. Bersamaan dengan itu, Arta juga tampak baru saja keluar dari kelasnya. Alea berjalan mendekat.

“Arta, disuruh ketemu Pak Dika juga?”

Cowok itu mengangguk.

“Kenapa ya? Padahal kan pengumuman finalis masih lama. Nggak tahu juga bakal lolos apa enggak. Eh pasti lolos sih, harus pokoknya mah,” optimis Alea pada akhirnya. Diam-diam Arta juga menebak apa yang menjadi alasan Pak Dika ingin bertemu dengan mereka.

Tok tok tok

Terdengar suara yang mengizinkan Arta dan Alea masuk. Entah mengapa atmosfer ruangan Pak Dika sedikit berbeda kali ini. Seperti ada sesuatu yang mau tak mau harus siap mereka hadapi. Begitupun raut wajah Pak Dika. Seolah ada sesuatu yang merundung, tetapi beliau sendiri tak tahu bagaimana menanganinya.

“Silakan duduk, Arta, Alea.”

“Ada perlu apa ya, Pak?” Alea sudah sangat penasaran.

Pak Dika menghela napas pelan dan menyodorkan sebuah amplop putih yang sejak tadi dia mainkan di tangannya.

“Ini…apa Pak?”

“Surat dari panitia lomba.”

Setahu Alea, segala macam pemberitahuan disampaikan panitia secara online, kecuali…

Dengan sedikit gemetar antara tergesa, penasaran, juga ketakutan, Alea membuka segel amplop yang masih utuh. Menarik perlahan isi yang terdapat di dalamnya. Kemudian, kedua pasang netra remaja itu memindai kata demi kata yang tertera di sana.

“DISKUALIFIKASI?!”

Satu kata yang membuat mereka terhenyak ketika membacanya. Satu kata peruntuh semangat dan optimisme yang tercipta. Satu kata penghancur dan pemusnah mimpi dalam sekejab saja. Satu kata yang bahkan Arta dan Alea sendiri tak menyiapkan diri untuk menghadapinya.

Arta meringis, Alea menangis. Menyadari bahwa setiap inci yang mereka usahakan, sekarang hanyalah kesia-siaan. Mencerna bahwa apa yang saat ini mereka terima hanyalah mimpi buruk belaka. Namun, godam itu begitu nyata dan perih luka begitu lebar menganga.

“P-pak, ini bercanda kan Pak? Bapak jelasin dong ini maksudnya gimana? Ke-kenapa…” Suaranya tercekat, seiring air mata yang meleleh.

“Pak, hanya ada satu hal yang bisa membuat hasil karya ini didiskualifikasi, yaitu plagiarisme. Tapi Bapak bahkan kepala sekolah sudah acc, itu artinya kita aman Pak. Lalu kenapa bisa—” Entah mengapa Arta juga tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Masih tak sanggup menanggung pahitnya kenyataan.

Arta berusaha tenang, mencoba mencari titik terang. Walaupun, nyatanya dia juga tidak sekokoh yang dipikirkan. Dia kalut, kecewa, dan bergejolak dengan rasa tak terima. Setidaknya dia harus mendapatkan penjelasan, agar namanya dan Alea tidak menggantung di atas kata dugaan.

Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang