Masih pukul 06.04, tetapi Alea dan keluarganya sudah bersiap untuk menyantap sarapan. Setelah melayani suami dan anaknya, Winda lebih memilih kembali ke belakang. Terlihat kembali sibuk dengan hal yang dilakukannya. Hal tersebut sontak mengundang pertanyaan di masing-masing anggota keluarga itu.
“Mama nggak sarapan?”
“Mama nanti aja deh sarapannya. Udah icip-icip jadi kenyang,” jawabnya diiringi cengiran manis. Darma sendiri memilih fokus pada makanan di depannya.
Tak lama kemudian, Winda kembali ke meja makan dengan sebuah kotak makanan di tangannya.
“Itu bekal buat Alea, Ma?”
“Bukan.”
Baik Alea maupun Darma kini sama-sama menunggu maksud dari jawaban Winda.
“Terus kamu mau kasih ke anak siapa, Ma?”
Darma mulai heran dengan tingkah istrinya itu.
“Em, Al. Mama minta tolong ya ini bekal nanti dikasih ke Arta.”
Uhuk uhukk
Bapak-anak itu kompak tersedak. Alea memang sudah cerita semuanya. Iya, semua. Bahkan, tentang dirinya yang semalam sempat diganggu geng sekolah lain dan Arta yang menolongnya. Sampai lagi-lagi cowok itu yang harus menanggung derita. Dia sendiri juga sebenarnya tidak yakin, apakah Arta bisa masuk sekolah atau tidak hari ini.
“Mama ngapain pake ngasih dia bekal segala? Lagian, aku juga nggak tahu Ma dia masuk apa enggak hari ini.”
“Sebagai ucapan terima kasih karena udah ngelindungin kamu, Sayang. Ya kalau dia nggak masuk, buat kamu aja. Dengan catatan kamu jengukin dia, sama bawain buah atau makanan kesukaan dia gitu.”
Alea hanya mengembuskan napas pelan.
Setelahnya, mata Darma dan Winda beradu. Darma tidak bisa mencegah apapun yang dilakukan istrinya. Bukan karena dia tipe suami takut istri. Hanya saja, dia juga paham apa yang dilakukan Winda tidaklah salah. Winda pantas melakukan itu atau mungkin lebih.
Di sela-sela kegiatan sarapan, terdengar pintu diketuk.
“Biar Alea aja yang bukain.”
Ceklek
“Rafi?”
“Aku mau ngobrol sebentar.”
Alea mengangguk. Mereka berjalan menuju taman samping rumah. Alea mendaratkan bokongnya di kursi putih panjang. Disusul Rafi dengan ekspresi yang tidak dapat diartikan.
Dua menit berlalu, tetapi tak ada satupun kata yang keluar dari mulut kedua remaja itu.
“Em, Raf—”
“Kemarin kemana aja pas aku nggak masuk?”
Alea menelan ludahnya. Dia sudah menduga hal ini.
“Ngerjain karya ilmiah kan? Sama Arta? Sampe malem. Udah lupa sama janjinya? Atau sengaja nyembunyiin semuanya dari aku? Maksudnya apa? Sebenernya kamu nganggep aku apa sih Al?”
“Raaf.” Alea menghela napas dalam, sebelum lanjut berbicara.
“Iya, aku emang join kompetisi itu. Sama Arta. Kenapa? Kamu mau bilang aku bakal kena masalah kalo deket Arta?”
“Nyatanya gitu Al!” Nada bicara Rafi meninggi.
“Kalo ini soal masa lalu Arta, harusnya kamu juga tahu kalo semuanya udah clear. Kamu nggak tahu apa-apa Raf. Kamu bahkan ikut ngebenci dia tanpa dasar.”
Rafi menciptakan senyum remeh.
“Udah segitunya ya kamu belain dia. Kamu mikirin perasaan aku dong Al!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Found You
Teen FictionFOLLOW DULU, SEBELUM BACA. SALAM, BISA HEBAT TANPA MENJADI PLAGIAT. Lembar-lembar ini bercerita tentang Arta yang merindukan kehidupan bahagia, karena kini segala skenario buruk seolah ditimpakan padanya. Sampai akhirnya, dia dipertemukan dengan Ale...