•Part 18•

14 1 0
                                    

Sabtu pagi, pukul 07,49. Cewek yang kini tengah menguncir tinggi rambutnya itu tampak menunjukkan binar wajahnya. Trackpants abu-abu, kaus quick dry, kemeja flanel, dan sepatu gunung berwarna beige brown melekat apik di tubuhnya. Setelah memastikan sekali lagi penampilan dari ujung rambut sampai ujung kaki, dia bergegas menggendong tas ranselnya. Tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk keperluannya hari ini.

Setelah berpamitan kepada orang tuanya, Alea lantas meluncur meninggalkan rumah. Darma sempat menawarkan untuk mengantar, tetapi gadis sematawayangnya itu menolak. Dia memilih menggunakan jasa ojek online, dengan alasan jika diantar menggunakan mobil akan memakan waktu lama. Hari-hari biasa selalu padat, terlebih lagi saat weekend.

Tak berselang lama, ojek yang ditumpangi Alea menepi. Berhenti tepat di depan gerbang SMA Airlangga yang tetap terbuka meskipun hari libur. Melepas helm, membayar ongkos cash, lalu berjalan menghampiri sosok yang bersandar pada salah satu sisi gerbang. Senyumnya merekah mendapati sosok laki-laki itu yang ternyata sudah menunggunya. Hawa dingin langsung merasuk di pagi yang terbilang hangat itu. Pasalnya, ini memang bukan karena cuaca, tetapi sorot mata cowok di depannya.

Alea memainkan bibirnya sejenak, sebelum akhirnya membuka suara.

“Lo..udah lama di sini?”

“Udah.”

“Emang lo kesini jam berapa?”

“Lo telat 45 menit 32 detik. Itung sendiri.”

Alea menjatuhkan rahangnya. Tangannya tergerak mengambil benda pipih di sakunya, sambil memutar bola matanya asal. Masih menatap layar ponselnya, Alea memainkan jari-jarinya yang entah bermaksud untuk apa. Beberapa saat kemudian, matanya yang tadi menyipit sekarang terbelalak lebar.

“Lo sampe sini jam 07.17?!”

Mata Arta menyorot tajam, seolah siap untuk menikam gadis di hadapannya bertubi-tubi. Giginya gemeletuk kecil, bersiap menerkam mangsa yang sudah di depan mata. Seketika, rasa bersalah melingkupi Alea.

“Maaf Arta, gue pikir lo bakal sama kayak orang-orang. Janjian jam 8, dateng jam 9,” lirihnya.

“Setidaknya belajar nepatin omongan sendiri.”

Cowok yang memakai jaket canvas army itu berjalan mendekati motor sport-nya. Kuda besi berwarna merah hitam tampak serasi dengan sang pemilik yang tampak lebih berkharisma tanpa baju seragam. Alea yang berjalan menunduk seketika mendongak saat sebuah helm disodorkan tepat di depan wajahnya.

“Makasih Arta!” serunya dengan senyum terkembang sempurna. Mendengus, adalah satu-satunya hal yang Arta lakukan sekarang.

Tujuan perjalanan kedua peneliti muda itu adalah sebuah gua bernama Gua Jembar. Waktu yang digunakan untuk menempuhnya sekitar 45 menit dari sekolah. Secara geografis, letak gua tersebut berada di sebuah daerah dengan karakteristik dataran perbukitan. Lebih tepatnya berada di desa yang cukup jauh dari hingar bingar perkotaan. Desa yang benar-benar asri dan menampakkan ciri khas penduduk pedesaan pada umumnya.

Lima belas menit sebelum sampai, pemandangan di sepanjang jalan benar-benar mamanjakan mata. Alea tak henti-hentinya merasa kagum. Diam-diam Arta juga merasakan hal yang sama. Kagum dan tenang. Sepertinya penelitian kali ini akan menjelma sebagai refreshing bagi keduanya.

Perjalanan yang cukup panjang itu terasa singkat. Arta memarkir motornya dekat dengan pos penjagaan area gua. Nyatanya, memarkir motor bukan berarti benar-benar sampai di lokasi. Setelah sedikit berbincang dengan petugas penjaga, Arta & Alea kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka harus berjalan kali sejauh 1,5 kilometer, karena akses jalan yang tidak bisa dilalui kendaraan.

Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang