Arta yang sangat jarang menampakkan senyum dan wajah ceria, bukan berarti dia tak pernah bahagia. Dia yang hampir selalu memasang ekspresi datar dan dingin bukan berarti tak memiliki secercah kelembutan hati. Hanya saja yang dia perlihatkan tak bisa semuanya dianggap kebenaran. Bukan perilakunya yang mengisyaratkan kebohongan, melainkan rasa yang tak semua orang harus tahu.
Dalam angannya yang memutar peristiwa masa lampau. Arta juga pernah seperti ini. Terbaring tak berdaya dan membuat orang-orang cemas padanya. Merasakan sakit tak berkesudahan dan mengadukan kepada siapa saja yang ada di hadapan. Tentu saja hanya pada orang tua dan kakak satu-satunya.
Dulu, semuanya memang tampak baik-baik saja. Perlahan tetapi pasti, pemberontakan dan rasa ketidakadilan itu semakin terasa nyata. Tak jarang, rasa tak suka semakin jelas diperlihatkan. Sampai akhirnya perubahan itu tak lagi mampu untuk disembunyikan. Untungnya, semua itu masih tak menggoyahkan tekadnya untuk bertahan.
Itu dulu. Sekarang kondisinya sama, tetapi dengan tekad yang berbeda. Alasan bertahan, sampai kini masih tak dapat dia temukan. Mengapa dirinya harus menjadi sebab atas mereka yang menelan kata kehilangan? Mengapa dia harus dianggap sebagai pihak pembawa bencana ketika dirinya juga sama tersiksanya?
Cukup lama, sosok yang terbaring dengan embel-embel kata sakit itu bergelut dengan pikirannya. Dia sudah mencapai kesadaran setidaknya dalam waktu yang cukup untuk memikirkan semua sekenario yang telah dijalaninya. Termasuk memikirkan bagaimana kehidupan orang-orang di sekitarnya. Andaikata dia tidak ada, sepertinya mereka akan hidup tenang tanpa kekhawatiran dan beban.
Seandainya dia tahu, tidak semua pikiran tentang orang-orang di sekelilingnya itu benar. Tiga hari sejak dirinya harus mengaku kalah untuk sementara, ada orang yang benar-benar mencemaskannya. Ada orang yang selalu berharap dirinya kembali membuka mata. Memberikan senyuman yang jarang dia ciptakan. Mengikis jarak yang selalu dia bentangkan. Juga menghitung detik tawa yang tak pernah berlangsung lama.
Baiklah, Arta sudah lelah berpikir. Yang paling terasa saat ini adalah ngilu di sekujur badan. Tenggorokan pun turut berterima karena kekeringan. Ditambah lagi masker oksigen yang membuatnya tak bisa bernapas dengan nyaman. Jangan lupakan perihal sebuah pertanyaan, apakah masih ada sosok yang menantikan?
“Arta, lo udah sadar?”
Penglihatannya masih buram, tetapi suara itu tak akan pernah karam. Karena sedalam apapun dirinya jatuh, masih ada sang pemilik suara itu yang akan merengkuh. Bahkan saat dirinya hancur menjadi butiran, sosok itu akan berusaha mengembalikan dia setidaknya menjadi kepingan. Kedua mata Arta mengerjap pelan, masih menyesuaikan dengan cahaya yang akan masuk.
“Bentar lagi dokter dateng,” ucap sosok itu girang setelah memencet tombol emergency. Bahkan, bisa Arta lihat kedua mata itu tengah berbalut kaca. Atmosfer di sekelilingnya menjelaskan bahwa orang di depannya benar-benar bahagia. Helaan napas Arta begitu pelan, tetapi cukup untuk mengisyaratkan kelegaan.
“Halo, Arta. Om cek bentar, ya?” Suara teduh itu berhasil menenangkan gemuruh di dadanya. Dokter Han, pria yang sudah menanganinya sejak beberapa tahun lalu.
“Ganti pakai nasal canulla ya biar lebih nyaman?” ujarnya lagi sambil melepas masker oksigen dari wajah tirus pasiennya. Arta tersenyum samar. Meskipun begitu, ketampanan di wajahnya masih tetap terpancar.
“Sekarang kondisi Arta stabil. Hanya saja beberapa hari ke depan krisinya mungkin akan sering datang. Jadi, jaga kondisi baik-baik ya, Arta?” Arta mengangguk pelan.
“Makasih, Dok,” ucap Reza dengan senyuman yang tampak tertahan. Dokter Han balas dengan senyum yang tak hanya memiliki satu artian.
Arta berdeham pelan, membuyarkan Reza yang sempat terhanyut lamunan. Reza balas tersenyum. Arta berdeham sekali lagi. Namun, Reza nyatanya masih belum mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Found You
Teen FictionFOLLOW DULU, SEBELUM BACA. SALAM, BISA HEBAT TANPA MENJADI PLAGIAT. Lembar-lembar ini bercerita tentang Arta yang merindukan kehidupan bahagia, karena kini segala skenario buruk seolah ditimpakan padanya. Sampai akhirnya, dia dipertemukan dengan Ale...