•Part 10•

17 2 0
                                    

Siang menjelang sore, Alea berada di taman kota. Tanpa sahabat-sahabatnya. Beberapa pekan ini dia sudah cukup menghabiskan waktu dengan Rafi. Alea juga ingin memberikan ruang pada Rafi agar tak melulu berurusan dengannya. Bukan berarti bosan, hanya saja setiap orang butuh waktu untuk dirinya sendiri bukan? Terkait Dela, sepertinya dia masih sibuk mengurus omanya yang sakit.

Tidak ada keperluan khusus yang mengharuskannya datang ke tempat ini. Dia hanya ingin menikmati suasana sore di kota kelahirannya. Sejak kepulangannya, Alea jarang memiliki waktu untuk sekedar bersantai.

“Alea,”

Suara itu berhasil menarik atensinya. Suara yang meninggalkan bekas di dalam benaknya. Suara yang terlalu menusuk meskipun tidak tajam.

“Arta?” gumamnya.

“Saya nggak mau kamu nyerah.”

Laki-laki ini muncul di hadapan Alea, mengucapkan kata-kata yang tidak akan berpengaruh lagi terhadapnya. Laki-laki yang memanggil nama Alea pertama kali. Laki-laki yang dua minggu belakangan berusaha dihindarinya. Laki-laki yang tidak mau satu tim dengannya dan tidak mengizinkannya berjuang. Mengubur mimpinya dalam-dalam. Kini tanpa sangka dia meminta agar Alea tidak menyerah. Mimpi? Tidak. Alea sudah membuktikannya dengan sengaja mencubit dirinya sendiri.

“Kamu abis kehilangan siapa sampai secara tidak langsung meminta saya masuk dalam hidup kamu?”

“Saya nggak sedang kehilangan. Saya cuma mau belajar menerima.”

Alea tersenyum hambar.

“Kalo gitu saya juga mau belajar,”

Alea menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya.

“Belajar untuk menolak.”

“Saya minta maaf. Saya sempat mengubur mimpi kamu untuk kompetisi itu. Tapi sekarang saya mau kita berjuang bersama.”

Decih pelan yang diberikan Alea kali ini.

“Berjuang? Setelah kamu hancurin perjuangan saya, kamu mau kita berjuang bersama? Bangun Arta! Mimpi kamu!” Suara Alea meninggi di tempat yang mulai ramai oleh pengunjung itu. Matanya yang berkaca-kaca semakin mengoloknya.

Arta bergeming. Dia seolah menjadi pemeran antagonis yang paling jahat sekarang.

“Dan apa kamu lupa,” Ternyata Alea belum selesai bicara. Arta memilih mengikuti alur pembicaraan gadis di depannya ini.

“Kompetisi itu kurang dari satu bulan lagi. Kamu pikir, penelitian dengan kualitas seperti apa yang bisa dihasilkan dalam kurun waktu sesingkat itu? Tolong kamu mikir, Arta.”

Sesaat kemudian, dia mengeluarkan sebendel kertas dari dalam tasnya.

“Saya udah persiapan untuk kompetisi itu, jauh sebelum kamu datang. Saya udah buat proposalnya. Sekarang saya tinggal minta tanda tangan kamu, supaya proposal ini bisa diusulkan dari pihak sekolah,” tutur Arta langsung pada intinya.

Alea menarik kumpulan kertas dari tangan Arta dan melemparnya kembali kepada sang pemilik.

“Kamu pikir saya ini orang seperti apa?! Yang cuma bisa numpang nama tanpa usaha. Sudah cukup kamu merendahkan saya, Arta!”

Arta masih bergeming. Menatap Alea yang wajahnya kini penuh dengan derai air mata. Antara tidak tahu harus menggunakan kata-kata apalagi untuk berdebat dengan Alea atau karena tidak ingin melihat Alea berurai air mata. Arta memilih berlalu tanpa kata. Bagus. Bukankah dia sekarang sungguh menjadi laki-laki pengecut karena meninggalkan perempuan menangis seorang diri?

📜📜📜

Tok tok tok

Cklek

Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang