•Part 32•

15 0 0
                                    

Di wajah orang-orang penuh kebahagiaan itu, berbanding terbalik dengan sosok yang kini diam-diam tersenyum miring.  Menggeleng tak percaya atas apa yang disaksikannya. Tawa yang tercipta benar-benar sebuah ironi tanpa disadari. Mungkin lebih tepatnya mereka tak lagi mampu mencerna kata peduli.

Sosok itu berulang kali mengeluarkan dengusan. Sesekali tersenyum kecut dan bersiap keluar dari persembunyian. Katakan dia memang malas melihat kebahagiaan yang entah mengapa baginya terasa memuakkan. Dilihatnya kembali dua buah kotak berbeda ukuran di tangannya. Dia berpikir, tetapi semakin berpikir semakin raut tak percaya terkuar nyata.

Ekhm! Sorry ganggu.”

“Reza? Lo kesini juga?”

Tanpa membalas pertanyaan Alea, Reza menyodorkan 2 buah kotak yang ditumpuk.

“Waah, makasih Za. Banyak banget kado lo. Susah nih gue balikinnya.”

Senyum remeh Reza tersungging.

“Dari Arta.” Kedua bola mata Alea dan Rafi sama-sama mengisyaratkan tanya. Bahkan, Devan kini turut menimbrung di antara mereka.

“Kalo lo kesini cuma mau cari ribut, lo bisa pergi sekarang.”

“Gue juga males kok Bang lama-lama di sini. Gue cuma mau ngasih kado dari orang yang hari ini juga ulang tahun, tapi dianggep ada pun enggak. Untungnya dia nggak liat kelakuan saudara-saudaranya yang nggak punya hati.” Perdebatan yang mulai terjadi itu menarik perhatian orang-orang di sana.

“Nggak usah ikut campur urusan keluarga gue. Lo nggak tahu apa-apa.” Kali ini Alea mengubah intonasi suaranya.

“Terserah kalo emang lo nganggep gue nggak tahu apa-apa, Al. Tapi apa selama ini lo tahu gimana rasanya jadi Arta yang kehadirannya nggak dilihat keluarganya sendiri? Lo tahu gimana rasanya jadi dia saat satu-satunya keluarga yang dia percaya justru semakin menambah luka? Hampir dua tahun dua jadi sasaran kemarahan Devan. Sedangkan, dia sendiri nggak tahu mesti berbuat apa!”

“Diem lo bangsat!”

Bugh!

Alih-alih meringis, Reza justru menarik kedua sudut bibirnya. Menciptakan seringai yang kemudian melandai.

“Kenapa? Nggak terima lo Bang? Atau lo nggak mau orang-orang tahu semua kelakuan lo ke Arta selama ini?!”

“Nggak usah sok peduli dan nggak usah ikut campur urusan keluarga gue!” tukasnya dan Devan hampir saja melayangkan tinju kedua, jika saja Rafi tak menahannya.

“Mau lo apa sih sebenernya?”

“Gue cuma mau lo peduli sama Arta. Udah cukup lo mengabaikan dia selama ini. Gue tahu lo marah sama cara kedua orang tua lo. Mereka pilih kasih tanpa mereka sadari. Tapi bukan berarti Arta mesti nanggung kemarahan lo semua!”

Reza berceloteh panjang. Membiarkan kalimat yang sudah lama dia tahan, kini mengudara lancang. Dia hanya tak sanggup lagi membayangkan bagaimana hancurnya Arta. Ingatannya kembali berputar, mengembalikannya pada jangka beberapa waktu lalu. 

Ponsel Reza berdering hampir setiap malam, oleh satu pelaku, dan di waktu yang hampir selalu sama. Jika boleh, Reza lebih memilih tak mendapatkan panggilan masuk dari siapapun. Bukan karena merasa terganggu, melainkan suara di ujung sana yang turut membuatnya terluka. Arta merintih, meringis, dan tak jarang menangis. Laki-laki itu mengungkapkan tentang bagaimana sakitnya. Tak lama kemudian, dia pasti mengucap kata maaf. Sungguh bukan itu yang ingin Reza dengar, karena sahabatnya itu bahkan tak melakukan kesalahan. Menit berikutnya, ketika Reza dipuncak cemasnya, Arta akan menyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Hal itulah yang membuat Reza berpikir, bahwa kata maaf itu seharusnya dia yang mengucapkan. Karena disaat seperti itu, tak ada yang bisa dia lakukan. Kecuali, memanjatkan doa dari kejauhan.

Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang