•Part 28•

14 0 0
                                    

---
Al, Arta krisis lagi.

Dan sekarang dia bener-bener butuh bantuan lo sama Devan.
---

Alea mendengus. Pesan seperti itu setidaknya sudah 5 kali muncul dalam minggu ini. Meskipun, ada yang berbeda dari pesan yang baru saja dia terima. Ada kalimat bahwa orang itu membutuhkan bantuannya dan Devan. Diam-diam ada tanya yang mencuat dan ada desir yang perlahan menguat. Namun, sekali lagi Alea memilih abai dan tidak peduli.

Alea mengesampingkan ponselnya. Setelahnya, gadis itu tampak tenang menghadap meja belajarnya. Tak lama, dia menyesap cokelat panas yang sempat dianggurkannya. Langit mendung, hari libur, dan segelas minuman favorit. Sungguh perpaduan yang seharusnya sempurna. Karena nyatanya, hari-hari Alea tak sesempurna sebelumnya, seperti ketika dia masih bersama Darma dan Winda. Juga saat hubungan dengan sahabat-sahabatnya masih baik-baik saja.

Gadis ber-hoodie merah muda itu mendekatkan mug ke hidungnya. Membiarkan uap beraroma cokelat menyeruak masuk ke indra penciumannya. Menenangkan. Hari libur ini, Alea berniat me-reward diri. Pasalnya, dia menjalani hari-hari yang berat belakangan ini. Alea memejamkan mata sejenak, tetapi harus terbuka kembali karena teleponnya berbunyi. Nama Reza terpampang di sana. Lagi, tidak peduli adalah jalan yang dia pilih. Tanpa mau berpikir lagi, Alea melangkah menuju ke kamar kakaknya.

Di sisi lain, Reza yang sudah di depan rumah keluarga Nugroho tidak bisa lagi menahan kesabarannya. Tak terhitung berapa kali dia mencoba menghubungi kakak beradik itu beberapa hari terakhir. Nihil. Ego mereka terlampau tinggi sampai-sampai tak nampu Reza capai.

Brak!

Reza membuka pintu di depannya, keras.

“Devan! Alea! Keluar!”

Dua orang yang terpaut usia 3 tahun tampak menuruni tangga bersamaan. 

“Sialan! Punya etika nggak lo?!”

“Setidaknya, gue masih punya hati! Nggak kayak kalian yang bahkan nggak peduli sama saudara sendiri!”

“Bangsat!”

Sebuah tinju mendarat apik di rahang Reza. 

“Bang Dev!” Alea manarik kakaknya sebelum semakin kalap. 

“Za, duduk dulu.”

Reza mendengus malas. Namun, akhirnya mengikuti perkataan gadis itu.

“Lo mau ngapain ke sini?”

“Lo udah tahu semuanya kan?”

“Soal?”

“Kasus karya ilmiah lo sama Arta.”

•||
Ihsan mengikuti arah kepergian Dela. Dia masih berstatus sebagai pacar. Meskipun, Ihsan sendiri ragu, apakah masih ada cinta yang pantas dia perjuangkan? Hari mulai gelap dan jalanan mulai sepi. Di depan sama Dela tampak menghubungi seseorang. Ihsan pikir, cewek itu menelpon Rafi untuk menjemputnya. Tak lama, sebuah mobil yang tidak dia kenal berhenti dan Dela memasukinya. Tanpa berpikir pagi, Ihsan mengekor kemana mobil itu melaju.

Mobil hitam itu berhenti di tempat parkir sebuah bar yang tidak terlalu besar. Hanya ada beberapa mobil dan motor yang terparkir di sana. Mungkin karena memang belum waktunya. Waktu masih menunjukkan pukul 17.39. Malam masih begitu panjang untuk sekedar menghilangkan beban pikiran dengan beberapa botol minuman.

Sang pengemudi tampak keluar terlebih dulu. Wajah yang tidak Ihsan kenal. Seseorang yang tampak seumuran dengannya, membukakan pintu untuk Dela. Tampak ada penolakan dari Dela, tetapi laki-laki bertindik itu menariknya paksa. Membuat gadis itu mau tak mau hanya bisa menurut. Ihsan sempat mengotak-atik ponselnya sebentar, lalu kembali melakukan aksi membuntuti.

Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang