16 × We are Mates👾

2.8K 425 155
                                    

Annyeonghello!!




.








"Wang Hanbin."

Yang dipanggil berjenggit di tempatnya saking kaget. Dipanggil pakai nama lengkap begitu gimana nggak kaget, ditambah nada datar yang nggak biasanya dia denger. "Manggilnya biasa aja dong, Nicholas. Ish!" sewotnya.

"Maaf." si dominan berucap tanpa nada gurauan kayak lumrahnya nada bicara dia. "Weekend ada jadwal?"

"Umm nope. Kenapa? Mau dating ya?" pertanyaan antusias Hanbin cuma dijawab dengan gelengan dan isyarat tangan untuk mendekat. Cowok itu pun meninggalkan beberapa buah yang tadi dia potong untuk dibuat jus, menghampiri suaminya.

Sekarang keduanya duduk berseberangan di meja makan dekat dapur, entah kenapa atmosfernya agak kurang nyaman kala itu.

"Ada apa Nicho?"

Tangan halus yang terulur di meja makan di depannya ia genggam perlahan. "Hanbinie, you know well how much I love you, right? You're my world, but unfortunately, I don't deserve the world. I don't deserve you."

Hanbin kelewat paham akan mengarah kemana topik itu nantinya. Dia muak dengan semua ini. Ketebak kenapa minggu-minggu belakangan ini dia seolah nggak lagi kenal dengan sosok Nicholas yang biasanya sedikit clingy dan nggak pernah bosen untuk sekedar berceloteh ringan. Pria itu berubah pendiam dan dingin. Hari inilah puncaknya.

"Lebih baik kamu cuekin aku aja deh daripada sekalinya ngajak duduk bareng kalo cuma bahas ginian doang." ketusnya tanpa menatap pria di depannya.

"Hanbin, kenapa kamu masih denial setiap kita bicarain ini sih? Ini demi kebaikan———"

"Apa? Demi apa? Aku udah berkali-kali bilang, coba dulu aja Nicholas. Sesulit itu untuk kamu sabar nunggu? Kenapa kamu pesimis sama kita? Kenapa kamu pesimis sama diri kamu sendiri?" dua kalimat terakhir ia ucap kelewat lirih. "Aku aja percaya sama kamu. Aku yakin kita bisa asal itu sama kamu, Nicho."

"Terlalu optimis sama 1% peluang hanya akan nyakitin dirimu sendiri."

"Gimana kalo ternyata 1% itu milik kita tapi malah kita sia-siain dengan pisah?"

Nicholas berpindah ke sisi Hanbin. Bahu sempit itu ia kunci untuk menghadapnya. "Kamu nggak pernah tau gimana beratnya aku merasa jadi suami paling bajingan sedunia ngebiarin istriku menderita sendiri. Sakit kan? Pasti sakit kan, hm? Kamu nggak pernah bilang ke aku. Kamu selalu pura-pura terbiasa sama semuanya, tapi aku tau, pasti itu nggak nyaman buat kamu. Jangan bohong."

"Apanya?"

"Human chorionic gonadotropin. Badanmu yang tiap minggunya dipaksa untuk nerima hormon itu pasti sakit kan? Kamu tahan sendiri nyerinya setiap hormon itu disuntik ke badanmu, aku selalu pura-pura baik aja meski rasanya pasti ngilu banget, kamu diem aja seolah nggak terjadi apa-apa meski dalam hati kamu susah kan nahan emosimu yang nggak stabil. Kenapa kamu nggak pernah lampiasin ke aku sih, Bin? Kenapa kamu pendem sendiri dan bikin aku ngerasa nggak berguna sampai di titik ini? Semua perasaan sakitnya cuma kamu yang ngerasain. Nggak ada satupun yang kamu bagi ke aku, bikin aku ngerasa brengsek sebrengseknya cowok brengsek. Apa orang seperti aku pantes buat kamu?"

"Kamu akan lebih brengsek lagi kalo ninggalin aku, Nicho."

"Aku ninggalin kamu juga demi kamu. Daripada kamu hidup sama aku tapi justru semua akan sia-sia. Untuk apa?" suara beratnya sedikit bergetar. Ia mendongak untuk menahan air mata yang mulai menggenangi kelopak matanya. Ia lemah. Titik terlemahnya selalu sama, menyadari betapa ia bukanlah sosok yang cukup tangguh dan berguna untuk istri kesayangannya.

taste of love; jaywon✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang