O3. Di Balik Himpunan

2.5K 243 25
                                    

"Nih kita udah dapet sponsor."

Raska menyerahkan proposal yang sudah ditanda tangani oleh pihak perusahaan milik Papanya. Kemarin, setelah menunggu lama akhirnya ia bisa bertemu dengan Sang Papa. Meskipun pembahasannya cukup alot tetapi Raska bisa melaksanakannya dengan baik.

Saat ini kesekretariatan himpunan sedang dipenuhi oleh beberapa anggota yang tidak ada jadwal mata kuliah. Beberapa dari mereka ada yang datang untuk sekedar goleran, mabar, bergosip dan ada juga yang mengerjakan tugas kuliah.

"Kok cepet?"

"Cepatlah, inikan kita pake orang dalem," sahut Hegar percaya diri.

"Pantesan."

"Nggak usah su'udzon. Gini-gini Papa gue nggak ada unsur nepotisme. Semuanya murni karena kerjasama yang kita ambil itu menjanjikan," ucap Raska tidak suka. "Lo lupa, dulu gue pernah ajuin ke Papa soal ginian juga dan berujung penolakan?"

"Oh iya, waktu itu gue yang ikut Raska," Jidan yang sedari tadi asik mabar bersama sang kakak tiba-tiba ikut bersuara. Jidan juga masih ingat betapa sedihnya mereka waktu proposal tersebut ditolak.

Merasa tidak harus melanjutkan obrolan yang tidak penting, Raska segera mengalihkan topik pembicaraan, "kita mulai kapan danusannya?"

"Kayaknya hari ini deh, Ras. Tadi gue lihat Si Hamka udah ngider ke kelas-kelas bareng Jeremi..."

Sewaktu perjalanan menuju ke kesekretariatan, Gista melihat Hamka sedang menjajakan makanan bersama dengan Jeremi. Jeremi sebenarnya jarang ikut danusan. Pasti ini paksaan dari Hamka. Laki-laki itu memang suka sekali mengajak anggota lain yang bukan anak buahnya. Katanya, "yang beli udah pada bosen yang dilihat itu-itu aja."

"...kemarin waktu selesai rapat mereka langsung koordinasi. Makanya bisa cepet kayak gini."

"Emang mereka jadi danusan apaan?"

"Kayaknya jajanan roti-roti gitu deh. Udah bukan risol lagi. Si Hamka udah bosen jualan risol mulu," Gista terkekeh pelan. Perempuan itu ingat sekali waktu Hamka marah-marah saat melihat risol di warung Mang Ujang--warung depan kampus.

Sementara Raska hanya menganggukkan kepalanya paham. Tidak masalah mau jualan apapun asal itu halal. Gini-gini Raska tidak mau memberikan dana haram kepada anggotanya. Sungguh pemimpin yang baik, bukan?

"Oh iya, kok gue nggak lihat Line? Apa itu anak nggak ada matkul?"

Dari sekian banyak anggota himpunan, yang paling bisa dibilang dekat dengan Kareline cuma Gista. Meskipun mereka jarang terlihat bersama di luar kampus. Tapi Gista sangat baik dengan Kareline. Gista tau kalau Kareline tidak punya banyak teman selama kuliah. Itulah sebabnya sebisa mungkin Gista harus mendekatkan diri pada Kareline.

"Lo kemarin jadi jalan sama dia, kan?"

"Anaknya pingsan."

"Ha? Kok bisa?"

"Maagnya kambuh."

"Terus sekarang anaknya dimana?"

"Kemarin sih, gue nyuruh sekretaris Papa buat nganterin ke rumah sakit. Soalnya gue harus bawa proposal ini."

Gista terlihat sekali kalau sedang mengkhawatirkan perempuan itu. Tangannya langsung meraih ponsel yang tergeletak di sampingnya, berniat menghubungi Kareline. Seenggaknya Gista harus tau bagaimana keadaan Kareline dari mulut perempuan itu sendiri.

"Lo nggak ada jenguk dia sewaktu habis dari nemuin Papa lo?" Gista kembali bertanya tanpa mengalihkan fokusnya dari ponsel yang ia pegang.

Sementara Raska, ia terdiam. Bingung harus memberikan jawaban yang bagaimana. Pasalnya kalau ia jawab tidak, Gista pasti bertanya lagi. Perempuan itu pasti akan memarahinya, karena bagaimana pun dirinya dan juga Kareline kemarin pergi bersama. Meskipun Raska sudah menyuruh sekertaris Papa untuk membawa Kareline ke rumah sakit, tetap saja Gista pasti akan mempertanyakan tanggung jawab Raska sebagai ketua.

Di Balik Layar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang