26. Part Time

1.3K 172 49
                                    

Dengan tetap mempertahankan jaket tebalnya, Kareline dan Raska berlarian menuju ruangan dimana bapak Kareline di rawat. Raska sudah mengingatkan sebelumnya kalau perempuan itu masih belum sepenuhnya pulih. Padahal mereka baru saja melakukan perjalanan jauh. Sayangnya rasa khawatir itu sudah mendominasi perasaan Kareline saat ini.

"Line, pelan-pelan. Lo masih sakit."

Sesudah kejadian di rooftop rumah sakit kemarin, Raska memaksa perempuan itu untuk tetap berada di sana alih-alih ikut dengan Raska—Raska berjanji akan mengurus administrasi bapak. Kemudian Kareline menolak dengan sangat keras. Ia harus melihat bapak, perasaannya tidak akan tenang jika ia tak melihat beliau sama sekali.

"Nggak, Ras, udah nggak bisa pelan-pelan lagi. Bapak lagi nungguin gue sekarang."

Dan akhirnya Raska hanya bisa pasrah. Sebenarnya wajar saja kalau Kareline merasa sangat khawatir. Bagaimana pun bapaklah yang membesarkannya.

Hanya butuh beberapa menit sampai keduanya mencapai ruang rawat inap tersebut. Terlihat sang ibu tengah terduduk lesu di depan ruangan itu. Mungkin beliau berpikir sudah tidak ada lagi harapan untuk bapak. Hanya mukjizatlah yang masih bisa diharapkan.

"Ibu!!"

"Line, kamu sa—eh Nak Raska," rupanya ibu memiliki ingatan yang sangat tajam. Raska pikir beliau lupa. Aaahhh, itu bukanlah hal penting sekarang.

Raska hanya menganggukkan kepalanya pelan. Ia ingin menanyakan bagaimana keadaan bapak kepada Ibu Kareline. Tetapi rupanya Kareline lebih butuh waktu lebih bersama ibu.

"Bapak gapapa, kan, Bu? Bapak masih bisa bertahan, kan?"

"Kondisi Bapak masih sama seperti yang terakhir kali dokter bilang. Dan...."

"Tante, maaf sebelumnya." Raska melirik ke arah Kareline dengan pandangan canggung. "Saya bakal bantu mengenai biaya yang akan ditanggung untuk operasinya Om." Ada binar bahagia pada kedua netra Ibu Kareline dan Raska dapat menangkap hal itu. Mungkin inikah jawaban dari segala doanya selama ini. Rasanya seperti tumpukan beton yang dipikulnya tiba-tiba terangkat. Sungguh sangat membahagiakan.

"Nak Raska, Ibu....Line ini...."

Kareline mengangguk mengiyakan. "Yang Raska bilang benar. Line dapat pinjaman dari Raska."

Sejujurnya Raska tidak begitu senang saat mendengar kalimat itu. Raska merasa ia sedang tidak meminjamkan sesuatu. Ia memang berniat membantu Kareline. Murni atas dasar keinginannya sendiri.

Sebagai balasan, Raska hanya tersenyum tipis. "Kalau begitu saya ijin dulu buat ngurus pembayarannya."

"Ibu perlu ikut?"

"Ibu tunggu di sini saja, temenin Line."

Sepeninggalan Raska, Kareline tak banyak bercerita apapun. Ia berlalu pergi untuk melihat kondisi bapak. Kareline ingat terakhir kali bapak dirawat tak sampai memakai beberapa peralatan menyakitkan itu. Selang-selang yang Kareline tahu untuk menunjang hidup bapak mulai menyiksa matanya. Ia tak tega. Kalau saja Kareline bisa menukarkan segala yang ia punya, pasti Kareline akan menukarnya sekarang juga.

"Bapak, ini Line. Bapak kenapa bisa kayak gini? Pasti Bapak suka lewatin obat yang diresepin sama dokternya, ya. Bapak harus sembuh. Bapak nggak mau lihat Line lulus, kerja? Bapak nggak mau jadi wali di nikahan Line nanti? Bapak lupa sama cita-cita Bapak kalau mau ngadain acara besar-besaran buat nanti Line nikah?" bisik Kareline tepat di telinga sang bapak bersamaan dengan air bening yang mengalir di kedua pipi perempuan itu.

Bertepatan dengan Kareline menyelesaikan ucapannya, mata bapak yang tertutup perlahan meneteskan air mata. Barangkali Bapak tahu kalau saat ini anaknya tengah ada di sampingnya. Memberikannya semangat untuk tetap bertahan bersamanya lebih lama. Hanya satu yang harus bapak tahu, Kareline sangat menyayanginya. Seperti cinta pertama seorang anak adalah ayahnya sendiri.

Di Balik Layar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang