21. Evaluasi

1.5K 192 16
                                    

Seperti yang sudah dijanjikan Raska di room chat sebelumnya. Kareline sungguhan mengabari Raska kalau ia akan pulang ke kosan. Mungkin perjalanan akan terasa lama. Jadi Kareline berharap agar Raska tak buru-buru untuk datang ke stasiun agar laki-laki itu tak menunggu lama.

Raska menunggu sembari memainkan ponselnya. Instagram kini menjadi opsi yang paling tepat untuk ia mainkan. Ia baru sadar kalau Instagram mereka belum saling follow. Kalau melihat sepak terjang sebelumnya, pasti sudah sangat wajar kenapa keduanya memilih untuk tidak berteman di sosial media. Jangankan Instagram dan lainnya, di real life saja Raska dan Kareline lebih terlihat seperti musuh bebuyutan daripada seorang teman.

“Hai, udah lama?” sapa Kareline dengan koper dan tas kecil yang tergantung di sisi tangannya. Sementara itu Raska mendongak, menjauhkan wajahnya dari layar ponsel.

“Eh Line, enggak kok. Baru sekitar sepuluh menitan.” 

Tanpa dikomando, Raska mengambil alih koper itu lalu memegangnya dengan satu tangan. Kareline hanya tersenyum. Tidak menunjukkan penolakan sama sekali atas inisiatif Raska barusan. “Sekarang udah jam sembilan. Lo udah makan malem?”

“Udah sih tadi. Dikit doang. Mau nyari makan?”

“Boleh. Lo mau makan apa?”

“Gue lagi pengen makan seblak,” jawab Kareline yang mulai berjalan bersisian menuju pintu keluar bersama Raska.

“Itu, sih, bukan makan. Tapi nyemil. Nasgor mau, nggak? Kebetulan gue tau tempat makan yang enak deket sini.”

“Boleh, deh. Udah laper juga.”

“Tadi katanya udah makan.”

“Kan, tadi. Kalau sekarang belum.”

Sesampainya di parkiran stasiun, mereka langsung memasuki mobil. Bersiap menuju tempat makan yang laki-laki itu maksudkan. Perutnya memang keroncongan minta untuk segera diisi. Sama halnya dengan Kareline. Akhir-akhir ini napsu makannya memang sedikit meningkat.

Selama di perjalanan, Raska mencoba menanyakan hal-hal yang menyenangkan seperti bagaimana Kareline selama tinggal di sana, masakan orangtua Kareline yang ternyata sangat enak. Kalau begini Raska jadi merindukan masakan sang mama. Terakhir ia mencicipi masakan itu beberapa tahun lalu mengingat Mama Wanda jarang sekali memasak dan lebih senang mempekerjakan koki.

“Jadi lo sempet nyasar ke rumah gue?”

“Iya, padahal gue udah coba pakai gmaps. Tapi ujung-ujungnya tetep nyasar juga.”

“Kalau sekarang masih inget jalannya?”

“Masih….kayaknya, hahaha. Habis rumah lo susah. Belok-belok gitu. Untung gue bisa cari jalan. Coba kalau nggak, himpunan bisa-bisa udah nggak punya ketua lagi,” canda Raska mengingat kenangan selama ia mencari dimana rumah perempuan itu.

“Tenang aja, kan, ada gue. Gue bakal gantiin lo jadi ketua.”

“Itu sih emang lo-nya aja yang mau.”

Pernah membayangkan Raska dan Kareline berbincang sesantai ini? Jika dilihat bagaimana dulu mereka melemparkan tatapan sinis, rupanya peristiwa yang baru saja terjadi tak akan bisa disaksikan seperti sekarang.

Tapi bukankah kemajuan ini lebih baik? Baik secara langsung ataupun tidak, hal tersebut jelas berdampak pada kinerja mereka di himpunan ke depannya. Mereka jelas akan semakin kompak dan membuat gebrakan baru. Sayangnya jabatan mereka tinggal sebentar lagi. Namun tak jadi masalah, karena begini saja sudah cukup.

*****

Di ruang kesekretariatan yang tak cukup besar, Siska dan beberapa pengurus lainnya mencoba mencari tempat yang bisa digunakan untuk acara evaluasi. Walaupun dengan duduk mengemper di depan kesekretariatan bisa saja dilakukan, tapi hal itu tidak cukup nyaman. Mereka semua butuh tempat yang lebih privat.

Di Balik Layar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang