23. Masa Lalu Alfin 2 (Selesai Revisi)

86 3 0
                                    

"Bolehkah aku cemburu?"
~ Syifa

Lebih tepatnya 9 tahun yang lalu di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Saat itu, ada seorang laki-laki tampan bersarung memakai baju koko putih dengan kopiah putih berjalan menuju Masjid. Banyak sepasang mata yang menatapnya kagum, apalagi dari kaum hawa, termasuk juga Sintia.

Hingga terdengar suara azan dari laki-laki tersebut. Ma sya Allah .... suaranya bagus sekali, siapakah dia? Kenapa hatiku seketika berdetak cepat seperti ini saat mendengar suaranya? batin Sintia saat berada di dalam Masjid.

Dirinya terlalu larut dalam kenyamanan, sampai-sampai tak sadar jika sudah Iqamah. Beberapa saat kemudian, salat magrib telah usai. Semua orang segera meninggalkan Masjid, kecuali para anak remaja yang akan mengaji dengan bimbingan ustaz atau guru ngaji. 

Sintia juga ikut di dalamnya. Memang  setiap hari, di Masjid Al-Kautsar ini ada mengaji dengan bimbingan guru ngaji. Sintia masih mengikuti sejak 4 hari yang lalu saat dirinya baru pindah ke Kota Palu ini.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh, sebelum kita memulai mengaji, saya akan memperkenalkan beliau dulu. Yang di sebelah saya ini namanya Nak Alfin, adik-adik bisa memanggilnya Kak Alfin. Beliau juga akan mendampingi adik-adik semua sebagai pembimbing," tukas Ustaz Soni pada para santrinya.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh, Ustaz."

Oh, jadi namanya Kak Alfin, tampan juga ya kalau lama-lama dilihat. Eh, astaghfirullah ... aku ngomong apa sih? Ingat dosa Sintia, batinnya menuruti kebodohannya.

Mulai dari situ, Sintia diam-diam sering mencuri pandang ke arah Alfin, apalagi saat mendengar suara lantunan ayat suci Al-Quran yang dibacanya. Dia tidak berani bicara ke siapapun, soal perasaannya saat ini. Sintia juga tidak tahu kenapa perasaan ini tumbuh begitu saja kepadanya.

Saat senja muncul, Sintia selalu buru-buru ke Masjid hanya untuk melihatnya dari kejauhan saja. Dirinya juga tidak berani menyapa secara langsung karena malu dan juga takut. Dirinya masih tahu batasan antara perempuan dan laki-laki, apalagi yang dia maksud itu guru ngajinya sendiri.

Semakin lama, perasaan itu semakin kuat. Awalnya Sintia ingin mengungkapkan kepadanya, tapi nyalinya tidak sekuat para perempuan di luaran sana. Saat Alfin ada halangan, tidak bisa mengajar, Sintia seketika lesu dan tidak bersemangat.

Sintia hanya bisa merapalkan doa, semoga kelak jika sudah dewasa dia dijodohkan dengannya, walau itu sangatlah mustahil. Sintia juga sadar diri, Alfin terlalu baik untuknya.

***

Alfin yang tadinya ingin pulang, mengurungkan niat karena ada seseorang yang memanggilnya dari belakang. Saat berbalik arah, ternyata seorang santri yang memanggil namanya.

"Iya, Adik? Ada apa?"

"Ini tasbih Kakak tadi ketinggalan saat mengajar." Saat mengajar ngaji, Alfin memang selalu membawa tasbihnya.

"Oh iya, terima kasih. Kalau begitu saya pamit, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Alfin segera bergegas pulang karena ada sesuatu hal penting yang harus dia bicarakan dengan kedua orang tuanya. Sesampainya di rumah, Alfin langsung membicarakan dengan kedua orang tuanya.

"Bunda, Ayah, aku mau bicara penting ke kalian."

"Apa itu, Nak?"

"Iya ada apa Al?"

"Alhamdulillah, tadi ada informasi kalau aku dapat beasiswa kuliah di Mesir. Lusa harus berangkat." Berita itu sungguh membuat kedua orang paruh bawa di depannya itu tersentak kaget. Sampai-sampai Tiara menitikkan air mata.

Assalamualaikum, Zauji (Terbit) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang