Selamat membaca:)˚˙˚
Dika terpaksa tak berangkat kerja pagi gini. Akibat kejadian malam tadi, Ghea mendadak demam. Badan perempuan itu terasa memanas dalam dekapannya. Bahkan wajah cantik Ghea berubah pucat, hingga membuat Dika tak tega jika harus meninggalkan sang istri sendiri di rumah.
"Ghe, kita ke dokter, ya?"
Ghea menggeleng lemah. Masih senantiasa mencari posisi nyaman bersandar di dada bidang Dika.
"Lo demam, Ghe. Harus berobat. Emang lo mau apa sakit keterusan?" ulang Dika kembali membujuk.
Ghea tak menjawab, gadis itu terlelap kembali membuat Dika menghembuskan napasnya sabar.
˚˙˚
"Ghe, bobonya di kamar, ya?"
Menggeleng pelan, gadis itu menutup kembali matanya bersamaan dengan eratnya pelukan pada leher juga pinggang Dika.
Ghea sudah seperti koala saja. Ralat, sih, Dika lebih senang menyebut istrinya seorang bayi.
"Kalau gitu tunggu di sofa aja, ya? Sambil nonton TV, gimana?" Ghea diam sejenak. Merasa tak enak jika harus menyusahkan suaminya. Jika dipikir - pikir juga, Dika pasti kesusahan kalau harus memasak sementara dirinya dalam gendongan sang suami.
Dengan setengah hati, Ghea mengangguk membuat Dika tersenyum tipis. Cowok berkaos biru dan celana jeans selutut itu meletakkan sendok beserta mangkuk, kemudian menyeret langkah menuju ruang tengah.
Dalam balutan hoodie kebesaran milik Dika, Ghea terduduk di sofa. Dika mengambil remote mulai menyalakan televisi. "Tunggu di sini sebentar, jangan nyamperin ke dapur, oke?"
Mendapat respon anggukan kepala, Dika mengacak rambut istrinya sekilas lantas melenggang pergi untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
˚˙˚
Dua puluh menit berlalu, Dika akhirnya kembali seraya membawa mangkuk berisi bubur buatannya dan segelas air hangat.
Bokongnya ia daratkan di samping sang istri yang nampak duduk lesu tanpa gairah.
"Makan dulu, abis itu minum obat," ujar Dika sambil mengaduk bubur.
"Ghea nggak laper," balas Ghea memajukan bibir. Suaranya parau nan serak. Matanya menatap sayu Dika yang untuk kesekian kalinya meraup napas banyak-banyak.
"Mau gue bawa ke dokter, hm?" ancam Dika menyorot Ghea dingin.
"Nggak mau," tolak Ghea nyaris bak bisikan.
"Makanya nurut!" cibir Dika menyodorkan sendok ke depan mulut istrinya.
"Ghea nggak mau bubur," ulang Ghea menolak.
"Terus maunya apa?" tanya Dika rada jengkel.
Ghea menggigit bibir bawahnya. Ragu-ragu untuk mengatakan keinginannya. "Ghea mau rujak."
Dika terkesiap mendengarnya. Apa Ghea---tidak, mana mungkin itu terjadi.
"Lo ini demam apa ngidam?"
Ghea spontan mencubit lengan suaminya gemas. "Ih, nggak, lah! Ghea, kan belum di-unboxing sama Dika. Mana mungkin bisa ngidam," sanggah Ghea mendelik tajam.
Dika diam tak berkedip setelahnya tertawa kecil. Iya juga, ya. Ghea kan belum dirinya apa-apain.
"Terus, ngapain minta rujak? Nanti maag lo kambuh, Ghe," larangnya kembali berusaha menyuapi Ghea.
"Nggak tau, lagi pengen yang pedes-pedes aja, Dikaa," rengek istrinya mengguncang lengan kekar itu.
"Mau gue ambilin cabe?" tawar Dika menyebabkan netra bulat sang istri melotot ke arahnya.
"Ih, nggak mau! Pengen yang pedes, Dika!"
"Cabe, kan pedes, Ghe."
"Tapi nggak enak!"
"Mau gue buatin sambel?"
"Sama nggak enak juga!"
Dika berdecak kesal. "Ya udah, mendingan dengerin omongan tetangga aja sana! Kan pedes-pedes tuh," cibir Dika meletakkan mangkuk di atas meja. Lantas setelahnya melipat tangan di depan dada.
Ghea tertunduk dengan bibir cemberut. Perlahan tangannya meraih mangkuk yang Dika letakkan tadi. "Ghea mending makan bubur aja, deh," pasrahnya melahap sesendok bubur yang terasa tawar baginya.
"Nggak enak," keluh Ghea mengulurkan mangkok tersebut ke hadapan suaminya. Ekor mata Dika menatap sang istri dari samping. Dengan rasa sabar luar biasa, ia mengambil mangkuk tersebut dan selanjutnya beranjak berdiri berniat pergi ke dapur.
Namun, sebuah tangan hangat mencekal pergelangannya membuat kepalanya sukses menoleh. Itu tangan Ghea yang berkaca-kaca memandang dirinya.
"Maksud Ghea, makan nya nggak enak karena nggak Dika suapin," aku Ghea menggembungkan pipi.
Satu alis Dika terangkat.
"Jadi ... harus disuapin?" tanyanya. Ghea mengangguk antusias.
"Tapi janji nggak akan request makanan yang aneh-aneh lagi, kan?" Lagi-lagi Ghea mengangguk menyetujui.
Dika terkekeh. Kembali duduk, ia menyuapi Ghea yang kini menerima suapan tersebut dengan lahap.
"Makan yang banyak. Bunda nanti katanya mau ke sini," papar Dika menggantung kalimatnya. "Jangan sampe, dia ngira gue KDRT karena nggak ngasih lo makan," imbuhnya menatap Ghea lekat.
"Bunda Rena?" beo Ghea memiringkan kepala.
"Iya, sama mertua gue juga."
Ghea mengernyit dalam. "Mertua Dika, siapa?"
Tawa Dika lepas seketika. Merasa gemas dengan pertanyaan bodoh dari istrinya, ia menyentil kening Ghea membuat si empu meringis sembari mengusap dahinya.
"Mertua gue kan orang tua lo, Ghe," kekeh Dika geleng-geleng kepala.
"Eh?" Ghea mengerjab dengan polosnya. Otaknya sedari tadi memang tidak terkoneksi dengan baik. Apa ini faktor dirinya sakit? Mungkin.
"Bego!" ejek Dika terkekeh.
"Bego-bego gini istri Dika juga," balas Ghea mengerucutkan bibirnya sebal.
"Wah, iya dong. Kalau nggak bego, mana mungkin gue nikahin," guraunya mencubit gemas pipi berisi istrinya.
"Kalau Ghea pinter?"
"Ya tetep bakal gue nikahin, lah. Kan cinta Dika cuma buat Ghea."
Ghea merona mendengarnya. Gadis itu memalingkan pandangan berusaha agar Dika tidak melihat mukanya yang memerah.
Dika tertawa pelan. "Nah, kayak gini terus, ya?" ucapnya membuat Ghea kembali menatapnya bertanya-tanya.
"Jangan kayak kemarin. Gue hampir mikir lo itu gila, Ghe," lanjut Dika yang berhasil mendapat toyoran tak berasa yang sengaja dilakukan Ghea.
"Dih, kok bilang Ghea gila, sih?"
"Iyalah, kemarin lo berubah. Buat gue khawatir tau nggak?"
"Berubah gimana?"
"Manja lo ilang, Ghe. Dan gue ga nyaman sama suasana kemarin," jelas Dika yang membuat Ghea merasa bersalah karena itu.
"Maaf," beo Ghea menunduk.
"Gapapa, kok. Yang penting jangan di ulangi lagi ya?" Ghea mendongak seraya mengangguk semangat. Mulutnya ia buka lebar bersiap kembali menerima suapan.
Di tengah kehangatan itu, dering ponsel Dika berbunyi nyaring. Si pemilik lantas mengambil benda pipih yang tergeletak di meja dan dengan cepat melirik nama yang tertera di layar.
"Siapa?" Ghea mengernyit heran menangkap presensi Dika yang tumben sekali tidak mengangkat telepon.
"Bukan siapa-siapa." Dika membalas kemudian, raut wajahnya bisa diterka jika ada kecemasan dalam diri laki-laki itu.
˚˙˚
; don't plagiarize my work!😠
KAMU SEDANG MEMBACA
Dighe | 18+
ChickLitYoung Adult Romance 18+ ∆ *** "Kapan punya anak?" Tidak ada hal lain yang mereka tanyakan jika bertemu Dika dan juga Ghea. Tiga kata itu sepertinya sudah melekat kuat untuk dua insan yang sudah satu tahun menikah, namun belum juga ingin punya keturu...