⚠️
Selamat membaca:)
˚˙˚
"Bunda nggak jadi kesini?"
Jemari Dika yang nampak sedang menari di atas keyboard laptop terhenti. Kepalanya tertoleh ke arah kanan di mana istrinya tengah terbaring di ranjang.
Ya, memang sedari tadi keduanya menanti kehadiran sang Bunda. Namun, hingga jam menunjukkan pukul tujuh malam, tidak ada kabar sama sekali. Dari telepon maupun pesan, Rena agaknya tak ada niatan untuk memberi kepastian.
"Mungkin di Toko banyak pesanan, jadi nggak bisa kesini," ujar Dika berasumsi. Ibunya itu tipe wanita berkarir, walaupun ayahnya Dipta memiliki pekerjaan tetap sebagai pemilik pabrik pembuatan tepung terigu, dirinya lebih memilih membangun penghasilan sampingan.
"Mama Ghea juga nggak jadi ke sini, kah?" tanya Ghea lagi sembari menghidupkan ponselnya. Mencari kontak sang ibu, jarinya dengan gesit mengetik deretan kata yang sayangnya hanya ber-ceklis satu abu.
"Mama juga nggak online," keluhnya kecewa.
Dika terkekeh geli. "Lagian lo nya udah mendingan ini," cibir cowok itu fokus kembali pada laptop di depannya.
Beranjak duduk, gadis berpiyama tidur itu menghela sabar. Setuju juga atas fakta yang Dika sebutkan, badannya terasa membaik sekarang. Hanya saja pilek datang menjumpai membuat dirinya merasa tidak lega dalam bernapas.
"Dika," rengek Ghea.
"Apa?" jawab Dika tanpa menoleh. Walaupun hari ini ia ambil cuti, tapi pekerjaannya harus tetap tuntas. Terlebih, besok adalah hari terakhir ia bekerja dan untuk minggu berikutnya libur tanggal merah.
"Mau bobo," lirih Ghea menghentak-hentakan kaki berbalut kaus kaki tebal ke lantai.
Dika memejamkan matanya. Meraup napas panjang, setelahnya menyorot sang istri yang tengah memasang raut berbinar penuh harap.
"Sini," titahnya merentangkan tangan.
Sudut bibir gadis itu tertarik agak lebar memperlihatkan deretan gigi putih yang berjajar rapi. Ghea berlari kecil menuju pangkuan Dika. Ia duduk di sana secara menyamping. Melingkarkan tangannya pada leher sang suami yang dengan cepat memposisikan lengannya berada di pinggang sang istri.
"Bobo-nya di sini dulu, ya? Abis gue selesai kerja, nanti dipindahin ke kasur," ujar Dika menatap lekat wajah istrinya.
"Ih, cium muwah-nya juga belum! Main nyuruh tidur aja!" protes istrinya manyun. Spontan Dika terkikik geli, satu tangannya menyampirkan helaian rambut Ghea ke belakang telinga. Memajukan kepala, bibir basahnya mendarat mulus di pipi kiri berlanjut ke pipi kanan sang istri.
"Udah, sekarang tidur!"
"Yang ini nganggur, ih!" rengek Ghea menunjuk-nunjuk bilah merahnya yang belum Dika sentuh.
"Tadikan udah," kata Dika berusaha sabar.
"Pengen lagi," pinta Ghea berkaca-kaca. "Enak Dika."
Dika tergelak. "Apanya yang enak?"
"Itunya," aku Ghea menunduk sambil mengulum bibir malu sendiri.
Muka Dika yang tadi nampak santai berubah serius. Netra legam itu mengitari pemandangan di depan layaknya singa yang lapar akan menerkam mangsanya.
"Mau Ghea."
"Eh?"
Ghea sontak terkejut kala Dika menggendongnya tanpa aba-aba. Baru saja hendak mengatakan kalimat tanya, mulutnya terlebih dahulu dibekap oleh benda kenyal yang menyapu permukaan luar.
Jantung Ghea tak aman sekarang, berdegub kencang bak ditabuh berulangkali. Ia kelabakan kala Dika membaringkannya di ranjang. Masih dalam keadaan shock, Ghea memejamkan mata. Permainan Dika belum juga usai. Pria itu masih mengecap sembari tangannya terulur menggenggam tangan istrinya.
Satu desahan lolos kala Dika menggigit bibir itu. Mengisyaratkan agar terbuka. Lidahnya menari di dalam sana, berbelit panas membuat Ghea kembali melenguh karena ulahnya.
Naluri Dika bekerja, tahu jika istrinya butuh pasokan oksigen. Dengan sangat terpaksa melepas tautan itu. Dika terkesima menangkap wajah Ghea dengan pipi merona dan bibir merahnya yang terbuka. Sial ia ingin mencicipinya lagi.
"Dika?" panggil Ghea ketika napasnya sudah kembali normal.
Hening beberapa saat. Dika maupun Ghea tak ada yang membuka suara. Barulah seperkian detik kemudian, mulut itu bergerak hendak menyampaikan sesuatu.
"Gue terlalu kasar, ya?"
Ghea menggeleng segera. "Nggak kok."
"Maaf," racau cowok itu menyesal.
"Nggak, Dika nggak," tampik Ghea mengusap rahang tegas sang suami.
"Dika nggak kasar. Cuma, Dika serius? " imbuh Ghea bertanya. Berapa lama keduanya melakukan itu? Sampai Ghea tidak sadar jika atasannya hilang entah kemana menyisakan bra berwarna merah maroon.
Dika tertawa mendengarnya. "Emang Ghea nggak mau nih?" ejek Dika balik bertanya.
"Kalau Ghea nggak usah ditanya, dari dulu mau! Tapi Dikanya yang nolak terus," sindirnya cemberut.
"Sekarang Dika mau," sahut Dika mendekatkan mulutnya ke telinga gadis itu. "Dika mau Ghea," bisiknya membuat tubuh Ghea meremang merasakan napas sang suami mengudara di lehernya.
"Dika mau Ghea malam ini."
Ting Tong!
"Permisi! Paket!"
Bola matanya membulat sempurna. Dika refleks menjauhkan diri dari sang istri. Keduanya sama-sama kaget akibat teriakan di luar sana.
Dika beranjak turun dari ranjang sembari berlari ke arah luar. Bahkan tidak menghiraukan pekikan Ghea yang beberapa kali memanggil namanya.
"DIKA?! NGGAK MAU DILANJUTIN?!" teriak Ghea geram sendiri.
"NGGAK! MOOD GUE ILANG!" balas Dika sebelum membuka pintu rumah.
Ghea cengo. Ia menganga merasa kesal, jengkel pula emosi atas semuanya. Mengapa juga harus ada kang kurir segala, sih?! Kan bisa 'permisi' nya sesudah dua jam pertempuran.
"Aih, dikit lagi padahal," gumam Ghea mengacak rambutnya frustasi.
˚˙˚
; don't plagiarize my work!😠
KAMU SEDANG MEMBACA
Dighe | 18+
ChickLitYoung Adult Romance 18+ ∆ *** "Kapan punya anak?" Tidak ada hal lain yang mereka tanyakan jika bertemu Dika dan juga Ghea. Tiga kata itu sepertinya sudah melekat kuat untuk dua insan yang sudah satu tahun menikah, namun belum juga ingin punya keturu...