14 - Bablas

15.2K 666 228
                                    

Selamat Membaca:)

°•°

Dika duduk di sofa tak berkutik. Mulut maupun tubuhnya hanya mampu diam dan mengindikasikan ekor matanya untuk sesekali melirik lawan bicara.

Ghea, istrinya itu juga tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Ia duduk di dekat suaminya sambil menunduk. Takut terhadap sang ayah yang sekarang tengah menatap keduanya dengan sorot tak terbaca.

"Ghea," panggil Abiyan---ayah Ghea.

Ghea sontak menoleh lekas. "I-iya, Pa?"

"Ambilin Papa minum, gih," titahnya beralih memandang Dika. "Papa haus. Pengen susu rasa cokelat. Yang dingin," lanjut Abiyan membuat putri satu-satunya itu mengangguk. Ghea beranjak dari duduknya, berjalan tergesa untuk menuju dapur.

Hening.

Hawa di ruangan tersebut terasa memanas. AC yang ada tak mampu meredam rasa gelisah pada diri Dika. Telapak tangan yang berkeringat hingga saliva yang beberapa kali ditelan kasar.

"Apa kabar, Re... Dika?" Abiyan membuka mulut. Aura wibawa pada dirinya tak pernah hilang sejak tahun ke belakang. Tubuh yang masih tegap dengan lengan berototnya serta mata elang yang mampu membuat nyali Dika ciut dalam sekali tatap.

Ya, Dika dan Abiyan memang tak terlalu akrab. Bahkan, jika tidak karena ibu Ghea yang membujuk pria paruh baya itu menerima lamaran keluarga Dika untuk meminang anaknya, mungkin sekarang Ghea bukanlah milik dirinya, melainkan orang lain yang sangat Dika tahu, Abiyan sudah mempersiapkan calon suami buat Ghea yang pasti lebih baik darinya.

"Saya, baik Pah," jawab Dika canggung. "P-papa sendiri aja kesini?" imbuhnya basa basi.

"Sendiri aja, kalau sekeluarga kemari takut nggak cukup, " sahut Abiyan tertawa ringan. "Rumah kalian kan tidak sebesar Arga. "

Tangan Dika mengepal kuat mendengar nama tadi. Rahangnya menggertak, berusaha tetap tenang.

Tertawa sumbang, Dika memasang raut keterpaksaan. Ini memang selalu terjadi. Di mana Abiyan membandingkannya dengan Arga---lelaki yang tadinya hendak Abiyan jodohkan dengan Ghea.

"Jadi, gimana? Sudah bosan belum jadi menantu saya?" Dan jangan lupakan pertanyaan menyebalkan yang senantiasa Abiyan lontarkan ini.

"Belum kok, Pah."

"Oh, berarti bentar lagi kamu bosen, nih?"

"Eh, nggak akan pernah bosen maksudnya, " sergah Dika gelagapan.

Abiyan manggut-manggut seraya tertawa. "Masih sama kayak dulu rupanya, " ujar pria itu tersenyum tipis.

"Anak lelaki berjaket hitam yang berani mendekati anak saya." Abiyan melanjutkan kalimatnya. "Rupanya sikapmu masih sama, Dika. Takut, jika bertemu dengan saya."

Dika hanya diam memperhatikan. Lidahnya kelu tak dapat menjawab ataupun memberikan sebuah pertanyaan.

"Berapa umur pernikahan kalian?" Papa Ghea mengalihkan topik pembicaraan. Lagi-lagi membuat Dika belingsatan untuk menjawabnya.

"Em, m-mau menginjak satu tahun, Pah," jawabnya menarik sudut bibir ke atas.

"Udah mau satu tahun?" beo Abiyan terkekeh. "Sudah lama sekali, ya? Dan kamu belum juga memberikan saya cucu."

Damn! Sesuai perkiraan. Abiyan kemari pasti ingin membahas perihal hal yang harusnya menjadi privasi Dika saja.

Melihat menantunya yang membisu. Abiyan terkekeh sembari geleng-geleng kepala. "Saya tau, ini harusnya menjadi privasi kalian."

Dika menoleh kaget. Apa mertuanya ini cenayang? Atau dukun gadungan? Kenapa bisa tahu isi kepalanya?

"Tapi jangan terlalu lama menunda," nasihat mertuanya. "Jangan sampai saya usut masalahnya ke meja hijau. Kamu tidak mau, kan berpisah dengan putri saya?"

Dika menggelengkan kepala segera. Gila saja! Masa masalah seperti ini taruhannya perceraian. Bisa mati berdiri ia jika Abiyan melakukan hal tersebut.

Percakapan itu berhenti kala Ghea membawa dua gelas susu rasa berbeda pada sebuah nampan berjalan menghampiri keduanya. Namun, baru saja Ghea meletakkan salah satu gelas pada meja, Abiyan bangkit berdiri sambil berucap, "Papa pulang dulu, ya?"

"Loh, kok buru-buru, Pah? " tanya Ghea masam.

"Besok Papa harus berangkat lagi ke Surabaya. Malam ini perlu prepare, " jelas Abiyan melirik Ghea dan Dika secara bergantian.

"Nanti cek rekening kamu. Papa sudah transfer uang buat keperluan kamu jajan. Nanti kalau kurang, telepon Papa aja, ya?" pesan Abiyan menepuki puncak kepala Ghea lantas setelahnya menyeret langkah menuju keluar rumah diikuti Ghea dan juga Dika.

Sampai di depan mobilnya, Abiyan memutar badan. Lima jarinya melambai dibalas Ghea yang tersenyum ke arah ayahnya. "Hati-hati dijalan, Pa!" teriaknya.

Hingga akhirnya, Abiyan memasuki mobil. Kemudian melenggang pergi meninggalkan kawasan rumah anaknya.

Dika, cowok itu mengatupkan bibir melihat interaksi anak dan Bapak itu. Entah kenapa mood-nya tiba-tiba saja menurun untuk tersenyum.

"Kamu tidak mau, kan berpisah dengan putri saya?"

Dika menghembuskan napas gusar mengingat perkataan mertuanya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

°•°

"Ghe?"

Ghea yang sedang menata rambutnya di cermin menoleh pada sang suami yang tengah bersandar dengan bibir merosot, duduk di ranjang.

"Iya?" sahut Ghea mengambil ikatan rambut lantas mengikat rambutnya asal.

"Kamu beresnya kapan?" Dahi Ghea seketika berkerut.

"Maksudnya? "

"Itu, " gumam Dika memukul guling yang ada di pangkuannya. "Beresnya kapan?"

Ghea menggaruk pipinya. Netranya menerawang ke langit-langit rumah. Berharap otaknya bisa menangkap apa yang suaminya maksud.

"Apaan, sih? " tanyanya mengernyit bingung.

"Itu loh, Ghe. Beresnya kapan? " decak Dika mengerucut sebal.

Dika nampak tak berwibawa malam ini. Mukanya yang senantiasa terlihat datar berubah kusut penuh kekhawatiran. Ghea saja terheran-heran dengan gelagat sang suami.

Merapikan helaian rambut ke belakang telinga, Ghea berdiri menghampiri Dika. Gadis itu naik ke tempat tidur seraya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya hingga pinggang.

"Coba sebutin secara spesifik. Ghea nggak ngerti, sumpah, " ungkap Ghea memandang suaminya butuh kejelasan.

Dika tak menjawab malah mendekatkan diri ke tempat sang istri. Memeluk Ghea lantas meletakkan kepalanya di ceruk leher putih nan wanginya yang sangat menenangkan hati.

"Lupain," gerutu Dika membuat napas hangatnya berhembus menggerayangi leher istrinya.

Untuk beberapa detik, keduanya bertahan dengan posisi tersebut. Sesekali Ghea terkekeh merasa kegelian tatkala daun telinganya mengenai hidung mancung Dika.

"Dika kenapa?" Ghea bertanya kembali heran.

"Nggak papa. "

"Serius?" ulangnya tak yakin yang direspon dengan gerakan cepat Dika mencium pipi kanan sang istri. "Gue nggak papa, Ghe," jawabnya menatap istrinya sayu.

Pipi Ghea bersemu. Namun, tak lama karena merasa kurang sesuatu. "Kok pipi doang? Ini nya nggak, nih?" tunjuk Ghea pada bibir merah mudanya. "Tadi Dika janji lho, kalau Ghea beli arumanisnya dua bisa dapet cium, " lanjut Ghea mengingatkan.

"Di pipi aja dulu. Kalau di sini, gue takut kebablasan. "

°•°
-Bersambung-

Dighe | 18+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang