Chap 08

515 76 2
                                    

Dua hari berlalu, Lucas tidak masuk karena sakit sejak kemarin. Aku tidak tau sakit apa dia dan aku juga tidak perduli, yaa ku rasa aku memang tidak perduli. Ya, aku tidak perduli, sungguh tidak perduli. Jadi aku simpan kembali ponsel ku di dalam tas, kemarin sepulang sekolah aku segera mencari ponsel ku, begitu tidak ada daya yang tersisa aku pun segera mengisi dayanya. Setelah dayanga terisi penuh, aku mengambil kertas yang berisikan nomer ponsel Lucas. Begitu ponsel ku sudah menyala, aku pun memasukkan nomernya. Dapat ku lihat kontak di ponsel ku hanya ada kontak ke dua orang tua ku dan ke empat kakak ku, serta ke dua dokter pribadi ku, lalu saat ini bertambah satu orang yaitu Lucas. Entah kenapa aku yang sedang memandang kontak Lucas membuat ku tersenyum, namun hal itu segera ku alihkan begitu aku menyadari hal konyol yang sudah ku lakukan ini.

"Ju..ni..or...." Panggil Fernando di jam istirahat, ia memasuki kelas dan menghampiri ku. Aku merasa beruntung karena kali ini aku sudah menghabiskan makan siang ku. "Buuuggh...!" Orang itu memukul meja ku dengan sangat kuat kemudian meraih kerah seragam ku.
"Dimana uang ku? Kau sudah mulai berani mengabaikan perkatan ku, hah!?" Seru Fernando sambil menepuk nepuk pipi ku dengan tangan satunya lagi.
"Aku tidak ada uang sebanyak itu." Jawab ku sambil memandang dalam ke matanya. Ini sungguh kemajuan bagi ku karena aku sudah berani menatap mata orang asing.

"Kau ini anak orang kaya, tidak mungkin kalau kau tidak memiliki uang segitu. Lima juta pasti sangat sedikit kan bagi mu, jadi cepat serahkan uangnya!" Teriaknya.

"Yang kaya itu orang tua ku bukan aku, jadi yang punya uang banyak ya mereka. Tiga juta itu uang jajan ku selama satu bulan, dan kau sudah mengambilnya." Aku tidak sepenuhnya berbohong kan? Tiga juta memang uang jajan ku namun dari kakak ku bukan orang tua ku.

"Haaah banyak alasan!" "Bugh!!!" Fernando langsung meninju wajah ku hingga hidung ku berdarah. Haaaaah.... Aku lelah di pukuli seperti ini, sungguh muak sekali. Aku pun menatap Fernando dengan sangat tajam, aku berdiri menghampirinya, ku tatap matanya dengan menaikkan pandangan ku karena dia lebih tinggi dariku. Dan si Fernando tak mau kalah, ia melayangkan pandangan yang jauh lebih tajam. "Apa?! Berani melawan!?"

Tanpa menjawab aku pun segera membalas pukulannya tadi, dan itu berhasil mengenai wajahnya walau aku yakin itu tidaklah seberapa. Lihat saja dia, hanya terkekeh dan tidak mengeluarkan darah seperti ku.
"Sungguh mengejutkan, rupanya tikus kecil ini sudah berani melawan. Apa ini karena si Lucas itu? Sepertinya kau harus di didik lagi ya agar tidak pernah melawan ku. Dan satu hal lagi, kalau memukul itu, harus seperti ini...." "Buugh... Buaaghk..." Fernando kembali memukuli ku, dan kali ini aku tidak hanya tinggal diam. Aku berusaha menahan dan juga melawannya, meski pun tubuh ku udah terbaring jatuh di lantai. Perkelahian itu berlangsung hingga beberapa menit, hingga seorang guru yang kebetulan lewat melihat hal tersebut dan meleraikan kita berdua. Alhasil saat ini kita berdua sudah berada di ruang guru. Wali kelas ku dan wali kelasnya Fernando berusaha memanggil orang tua kami, namun nampaknya orang tua ku tidak menjawab panggilan tersebut.

Setelah wali kelasnya Fernando menghubungi orang tuanya, beliau kini menghampiri kita berdua dan kembali menceramahi kita. Tidak ada di antara kita berdua yang membuka mulut untuk mengatakan hal yang sesungguhnya, Fernando hanya diam saja meski terus menerus ditanyai gurunya itu, sedangkan aku diam karena aku tau kalau sampai guru tau hal sebenarnya Fernando bisa bisa di keluarkan dari sekolah. Mengingat kesalahan yang sering di lakukan dia dan di tambah kasus pemerasan ini, jadi sudah dapat di pastikan bukan. Alasan aku diam selain karena penyakit ku yang sulit bicara dengan orang asing, aku tidak mau Fernando mengalami masalah lainnya. Aku dan dia mempunyai masalah yang hampir sama, jadi aku memahaminya.

Beberapa saat kemudian ayahnya Fernando datang, ia meminta maaf kepada guru dan juga ke pada ku yang menjadi korban penganiayaan ini. Aku menatap ayah dan anak itu yang berjalan keluar ruang guru, ayahnya sama sekali tidak terlihat marah justru kesedihanlah yang terukir jelas pada wajah yang mulai menua itu.
"Orang tua mu tidak ada yang bisa di hubungi, jadi bapak membuatkan surat ini nanti segera kasih ke orang tua mu. Karena di antara kalian tidak ada yang mau cerita, jadi bapak menghukum kalian berdua. Kau diskors selama tiga hari, sekarang pulanglah." Ucap wali kelas ku. Aku menerima surat tersebut dan berpamitan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Saat malam tiba, tidak ada seorang pun yang pulang ke rumah. Aku menunggu salah seorang dari keluarga ku pulang di ruang tamu untuk menyerahkan surat panggilan dari guru ku ini. Ku lihat jam pada ponsel, saat ini sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku membuang nafas dengan kasar. Kemudian aku mencoba menghubungi ayah ku, lalu ibu ku... Tidak ada yang menjawab. Kemudian aku menghubungi kak Arley, agak lama panggilan itu tersambung dan akhirnya di angkat juga.

"Kakak dimana? Kakak gak pulang?" Tanya ku begitu mendengar suara kak Arley.

"Kakak pulang ke apartemen kakak karena dekat dari kantor, kakak kelelahan, ada apa Jun? Kenapa malam malam begini kamu telpon kakak? Apa ada sesuatu?" Kak Arley balik bertanya.

"Tidak ada kak, cuma mau tanya aja. Ya udah kalau gitu, maaf ya kak sudah ganggu istirahat kakak." Setelah mendengar jawabannya aku pun segera memutuskan panggilan tersebut. Lalu aku mencoba menghubungi kak Erlan. Beberapa kali panggilan barulah panggilan ku di angkat olehnya.

"Ada apa? Ini sudah malam, kau tidak tidur? Besok sekolah kan." Tanyanya.

"Kakak dimana? Kakak tidak pulang?" Aku balik bertanya.

"Kakak kan lagi di luar negri, urusan bisnis. Kau tidak tau?"

"Tidak." Jawab ku lirih.

"Bukan kah kakak sudah mengatakannya? Kakak udah sampaikan itu di group keluarga kan, apa kamu tidak membacanya? Apa kamu lupa?"

"Mungkin aku lupa kak."

"Lalu kenapa kau menghubungi kakak malam malam seperti ini?"

"Aku hanya bertanya aja, ya sudah kalau begitu kak, selamat malam."
Kemudian aku mencoba menghubungi kak Darwin, tidak butuh waktu lama panggilan ku segera di angkat olehnya.

"Ada apa Jun?" Tanyanya singkat.

"Kakak dimana? Kak Delvin juga dimana?"

"Oh kita sekarang lagi ada pesta penyambutan karyawan baru."

"Pulang jam berapa?"

"Kita tidak pulang, kita akan menginap di apartemennya kak Arley yang dekat dari kantor. Kenapa? Oh ya, mama sama papa katanya akan pulang minggu depan tidak jadi minggu ini. Kau sudah tau?"

"Cuma nanya aja... Memangnya kemana mama sama papa pergi? Aku kok gak tau."

"Seriusan gak tau? Emangnya kamu gak buka group keluarga? Mama dan papa kan lagi liburan, setelah bertahun tahun lamanya akhirnya mereka bisa menikmati waktu mereka kembali."

"Oh pantesan aja aku hubungi tidak di angkat angkat, ternyata lagi asik liburan."

"Apa ada lagi yang mau di bicarakan? Kita semua mau lanjut karaoke sekarang."

"Tidak kak, tidak ada. Have fun ya kak."

"Pasti!"


Panggilan pun terhenti. Di saat yang bersamaan air mata ku jatuh begitu saja, tangan kiri ku meremat kaos yang berada tepat di dada. Rasanya sesak, sesak sekali. Aku tidak pernah tau kalau keluarga kita memiliki group keluarga di salah satu aplikasi, karena tidak pernah ada yang menghubungi ku, aku tidak pernah memegang ponsel. Hingga akhirnya, aku satu satunya orang yang tidak tau apa apa.
Lagi dan lagi aku di tinggal sendirian di rumah besar ini, rasanya dingin sekali. Selain itu, bagaimana bisa mama dan papa pergi liburan begitu saja tanpa mengingat ku? Apa kalian tidak bisa mengajak ku? Aku belum pernah pergi berlibur bersama kalian kan? Bahkan album foto keluarga itu, hanya ada sedikit foto ku, dan itu pada saat aku masih bayi. Aku juga ingin seperti kakak kakak ku yang pergi berlibur bersama dan mengambil banyak foto untuk di isi di album keluarga ini.

Junior (Ended)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang