Chap 07

545 74 5
                                    

Lucas Zander, murid baru yang duduk di bangku sebelah ku. Sudah dua bulan dari kepindahannya di sekolah ini, dan sudah selama itu juga dia slalu berusaha menempel pada ku. Terkadang dia juga suka membela ku di saat Fernando datang membully, hal tersebut justru membuat ku kesal. Aku tidak suka dengan keperduliannya, aku tidak suka dengan sikapnya yang sok perduli dengan ku, dia benar benar bermuka tebal, tidak perduli berapa kali ku tolak untuk menjadi temannya, dia tetap saja mendekat, seperti kecoa. Jujur saja, aku sudah terbiasa tanpa orang yang perduli terhadap ku. Bahkan setiap hari saja keluarga ku tidak ada yang menghubungi ku, jadi aku slalu menyimpan ponsel ku di laci meja di kamar. Buat apa juga kan aku bawa bawa, kalau ponsel ku tidak pernah berbunyi. Rasanya seperti tidak memiliki ponsel.

"Junior, kau akan makan siang dimana? Ayo kita makan bersama, bagaimana kalau pergi ke kantin? Kau tidak bawa bekal lagi kan?" Tanya Lucas. Bel istirahat makan siang baru saja berbunyi, dan dengan sergapnya Lucas menarik lenganku di bawanya aku ke kantin. Aku hanya diam membiarkan Lucas melakukan semaunya, karena percuma jika aku menolak, Lucas tidak mengenal kata penolakan dia akan tetap memaksa.
'Haaaah.... Gawat.... Maag ku kambuh, obatnya ada di tas.' Batin ku yang mulai merasakan nyeri pada ulu hati, setelah ku ingat lagi, sepertinya dari semalam aku tidak makan. Bahkan kemarin saja aku cuma makan siang aja di sekolah karena paksaan Lucas serta pertolongan Lucas ketika Fernando hendak menyuruh ku membeli makanan yang berada di luar sekolah. Jika tidak ada Fernando, kemungkinan kemarin siang pun aku tidak akan makan.

"Kau kenapa?" Tanya Lucas yang entah bagaimana ia bisa tau kalau ada sesuatu yang terjadi pada ku. Mungkin kah dari wajah ku yang terlihat pucat? Tapi ku rasa tidak, hanya sakit maag ku kambuh tidak mungkin membuat wajah ku pucat. Apa mungkin dari langkah kaki ku yang melambat karena menahan sakitnya?
"Hei Junior, aku sedang bertanya?" Lucas kembali bertanya pada ku dengan wajah yang terlihat cemas. "Maag ku kambuh, aku harus ke kelas mengambil obat." Seru ku, namun di saat aku hendak berjalan, Lucas menarik tangan ku.

"Dimana kau simpan obat mu? Aku akan mengambilnya, lebih baik sekarang kau ke ruang kesehatan, istirahat di sana. Aku akan bawakan obat mu dan juga makan siang untuk mu." Tegas Lucas. Dan aku menghempaskan tangannya dari ku.
"Aku bisa pergi ambil sendiri!" Ketus ku yang kemudian berjalan kembali menuju kelas dan mengambil obat. Setelah ku telan obat tersebut, aku memilih untuk tiduran di kelas. Selang beberapa menit kemudian, aku mendengar sesuatu di taruh di atas meja, karena penasaran aku pun membuka mata. "Ini ku bawakan makan siang, kita makan di kelas saja " Ujar Lucas yang membawa makan siang untuk ku dan untuk dirinya itu, serta dua botol air mineral.
"Cepat makan, sebelum maag mu bertambah parah." Serunya.
Aku pun menuruti perkatannya, entah kenapa tubuh ku bergerak dengan sendirinya. Sambil mengunyah nasi tersebut, aku diam diam melirik ke arah Lucas. Jika aku perhatikan, aku tidak merasa panik atau gugup ketika bicara dengannya. Padahal dia orang asing bagi ku, tapi kenapa dia seperti kakak kakak ku? Selama ini hanya keluarga ku lah yang bisa membuat ku bicara normal tanpa gugup atau pun panik, hal itu akan terjadi jika aku bicara dengan orang asing. Bukan kah Lucas orang asing? Lalu kenapa? Selain itu, ada yang aneh di dalam hati ku. Seperti ada sesuatu yang menghangat.

"Ini nomer ponsel ku, kau harus menghubungi ku nanti." Seru Lucas ketika kita usai makan. Sebenarnya aku enggan untuk mengambilnya, namun Lucas memaksa dengan memasukkan kertas tersebut ke dalam tas ku.
"Aku tidak pernah memegang ponsel ku sama sekali, bahkan keberadaannya dimana saja aku sudah lupa. Jadi jangan harap aku akan menghubungi mu." Seru ku, namun Lucas tersenyum sebelum ia berujar. "Kau pasti akan menghubungi ku, aku yakin itu."

"Rasa percaya diri mu sangat tinggi sekali."
"Tentu saja, itu karena kau sudah mulai berubah saat ini. Waktu pertama kali kita bertemu, kau lebih banyak diam dan menghindari ku, sekeras apa pun aku mencoba mendekatkan diri, kau tidak pernah mau menerima ku. Tapi lihat sekarang, meski pun kau slalu menolak, tapi kau lebih banyak bicara dengan ku tanpa adanya rasa canggung. Jadi aku sangat yakin kalau nanti kau akan menghubungi ku."
Aku tidak membalas perkataannya, setelah aku pikir pikir, apa yang di katakannya itu benar adanya. Jadi aku tidak tau harus berkata apa, maka dari itu aku lebih memilih diam dan mengalihkan pandangan ku darinya. Aku juga mulai mengabaikan perkataannya setelah itu.

Keesokan harinya aku sudah menyiapkan uang tiga juta sesuai keinginan Fernando waktu itu, sudah lama memang, namun baru sempat aku menyerahkan uang ini. Alasannya, di saat aku ingin menyerahkan uang tersebut, Lucas datang menghalanginya hingga beberapa hari dan terjadilah pertengkaran di antara keduanya. Padahal menurut ku tidak masalah memberikan tiga juta ke Fernando, kemudian Fernando diskors selama dua minggu. Setelah ia kembali masuk, kita jadi sulit bertemu karena Lucas slalu menempeli ku. Dan kemarin ketika aku berada di toilet, Fernando menghadang ku. Dengan seringai yang terpasang jelas di wajahnya, ia menutup pintu toilet dan ku dengar suara pintu itu terkunci. Secara perlahan lahan Fernando berjalan mendekati ku, secara reflek aku pun berjalan mundur hingga punggung ku membentur tembok membuat ku menghentikan langkah.

"Jangan senang hanya karna Lucas slalu melindungi mu! Besok pagi pagi, temui aku di atap dan berikan tiga juta itu, mengerti?!" Seru Fernando yang hanya aku angguki tanda mengerti.

Dan pagi ini, kita bertemu di atap. Aku, Fernando dan teman se-gengnya.
"Ini." Aku menyerahkan uang tiga juta itu yang tersimpan rapi di dalam amplop berwarna coklat. Dengan kasar Fernando mengambilnya dan membuka amplop tersebut. Ia bersmirk dan menepuk nepukkan amplop tersebut ke tangan kirinya. "Aku tidak tau dari mana kau bisa dapatkan uang ini, dan aku juga tidak perduli bagaimana kau mendapatkannya. Tapi anak orang kaya seperti mu, uang segini bukanlah apa apa, benar kan?!" Ujar Fernando yang kini memegang pundak ku. "Lusa, aku ingin kau bawakan uang lagi untuk kami. Bagaimana jika itu lima juta?" Lanjutnya, sedangkan aku hanya diam saja tidak menanggapi perkatannya. Aku melihat mereka berjalan meninggalkan ku. "Dari makian beralih ke fisik, dan sekarang pemerasan. Aku rasa kalau hanya mentraktirnya makan tiap hari aku gak akan masalah, karena itu tidak menghabiskan banyak uang. Tapi kalau seperti ini, uang jajan ku benar benar di kuras. Lebih baik abaikan saja, aku juga butuh uang ku untuk beli obat serta bayar konsultasi psikolog. Aku juga ingin bisa bebas menghadapi orang asing."

Junior (Ended)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang