Chap 09

508 68 2
                                    

Keesokan paginya, aku mendapatkan panggilan dari kak Delvin. Ia meminta tolong padaku untuk membawakan map yang berwarna biru yang berada di meja kerjanya. Dan kak Darwin meminta tolong juga untuk di bawakan tas kerja satunya lagi yang berada di kamarnya, karena itu semua berisikan dokumen penting yang ia perlukan siang nanti. Pada awalnya mereka  menyuruh aku untuk mengirimkannya melalui jasa pengiriman, namun aku tolak dan aku menawarkan diri ku sendiri untuk mengantarkannya. Jika semua ini hal penting, lebih baik jangan serahkan ke orang asing. Aku pun bersiap siap untuk menuju kantor papa, karena di sanalah ke empat kakak ku bekerja. Dan kalau aku tidak salah ingat, mereka juga menangani kantor cabang lainnya juga.

Aku mengenakan kaos berlengan pendek berwarna putih polos, dengan celana jeans hitam serta sepatu kets. Ku simpan dompet serta ponsel ku di tas kecil yang sudah lampirkan di pundak. Map biru milik kak Delvin aku masukan ke tas kerja kak Darwin, agar memudahkan ku dalam membawanya. Lalu sekarang aku sudah berada di dalam taxi yang ku pesan terlebih dahulu. Setibanya aku di kantor papa, aku cukup tercengang melihatnya. Gedungnya sangat besar dan kokoh, ini kali pertamanya aku datang ke sini. Tinggal kantor mama saja yang belum aku datangi. Kantor papa ini milik papa sendiri, dan papa lah yang merintisnya. Kalau kantor mama, mama hanyalah karyawan disana sebagai manager jika aku tidak salah ingat. Dan mama tidak pernah mau melepaskan pekerjaannya tersebut, karena mama merasa berhutang budi kepada pemiliknya karena saat muda dulu, keluarga itu lah yang membantu mama dan keluarga mama di saat kesusahan. Aku pernah dengar cerita ini dulu sekali dari nenek ku sebelum meninggal dunia.

Di depan kantor, aku mencoba menghubungi kak Darwin dan juga kak Delvin, namun tidak juga di angkat angkat. Aku malas sekali jika harus bertanya ke receptionist, aku masih belum bisa bicara bebas terhadap orang asing. Beberapa orang berjalan berlalu lalang, keluar masuk kantor papa dengan setelan formalnya. Pada saat ini aku sungguh merasa ketakutan, aku ingin segera pulang ke rumah dan menjauh dari kerumunan orang asing ini. Tapi tetap saja kedua kakak ku itu tidak juga menjawab panggilan ku. Lalu aku putuskan untuk menghubungi kak Arley.
"Maaf Jun, kakak lagi sangat sibuk nanti kakak akan hubungi kamu lagi, ok." Setelah mengatakan itu kak Arley memutuskan panggilannya, belum juga aku mengatakan sepatah kata pun. Kalau seperti ini bagaimana? Mau tidak mau aku harus bertanya juga ke orang asing.

Awalnya aku sempat ragu dan memundurkan langkah kaki ku. Namun perkatan dari psikolog yang merawat ku terngiang begitu saja, dokter itu bilang kalau aku harus mencoba sedikit demi sedikit bicara dengan orang asing yang baru pertama kali ku temui. Jangan di paksakan namun aku harus mencoba sedikit demi sedikit demi kesembuhan ku.
Lalu aku mengambil nafas dalam dalam, dan ku kuatkan mental ku. Akhirnya kaki ini berjalan masuk ke dalam kantor. Di depan meja receptionist, wanita itu bertanya pada ku, "Apa ada yang bisa saya bantu?" tapi lidah ku terasa kelu. Beberapa kali wanita itu memanggil dan bertanya hingga ia merasa kesal, dapat ku dengar dari nada suaranya yang sudah berubah. Dan itu membuat ku semakin ketakutan.

"Astaga anak ini... Hei nak, kalau mau bermain main jangan di kantor! Kau pikir kau siapa bisa seenaknya datang ke kantor dan mengganggu kita yang sedang bekerja! Cepat katakan apa yang kau butuhkan, apa kau ingin menemui seseorang atau kau mau melamar kerja jadi cleaning service?! Jangan buang waktu percuma!" Bentak wanita itu membuat ku semakin ketakutan.

Aku hanya menundukkan kepala dengan menggigit bibir bawah ku, kedua tangan ku mengerat pada tas kerja kak Darwin.
"Security! Tolong urus anak ini! Usir dia dari sini, mengganggu sekali!"

Aku yang kaget sontak menatap wanita tersebut, aku pun menggeleng gelengkan kepala dan mulai membuka mulut ku untuk bicara. "Ada apa nak? Kau datang ke sini ada keperluan apa?" Tanya security tersebut dengan ramahnya.

"A-aku..."

"Sudah pak usir saja, dari tadi saya udah tanyain tapi diam aja udah kaya orang bisu. Sebelum pak Arley, pak Darwin dan pak Delvin selesai mengurusi pelamar kerja, jangan sampai hal ini membuat beliau kesal." Seru wanita tersebut.

Aku kembali ribut menggelengkan kepala. "A-aku... Mau ber...temu kak Darwin dan ju-juga kak Delvin." Ucap ku gagap namun berhasil bicara dengan orang asing.

"Hei bocah ingusan, bicara yang benar! Apa kau tidak sekolah? Tidak di ajari sopan santun? Bagaimana bisa anak seperi mu..." Wanita itu menatap ku dari atas hingga ke bawah. "....memanggil petinggi kita seperti itu! Kau harus memanggilnya dengan sebutan bapak, jangan bersikap sok akrab. Lagi pula tidak mungkin petinggi kita kenal dengan anak lusuh seperti mu."

"Ma-maaf..." Lirih ku, aku menyadari kalau keadaan ku memang tidak baik. Bekas pukulan kemarin masih terpampang jelas di muka ku bahkan di tangan ku juga ada.

"Mbak tolong jangan seperti itu bicaranya, dia kan masih anak anak." Seru security.

"Justru karena masih anak anak seharusnya di ajarkan sopan santun, lagi pula dari tadi di tanya cuma diam aja. Buang waktu kerja saya tau gak! Eh kamu... Mau apa ketemu sama pak Darwin?" Tanya wanita tersebut.

Aku mengulurkan tas kak Darwin menunjukkannya ke wanita tersebut. "A-aku mau antar ini."

"Kau kurir? Astaga... Kenapa tidak bilang dari tadi sih, merepotkan saja. Kemarikan, biar aku serahkan ke pak Darwin nanti." Wanita itu hendak merebut tas kak Darwin, namun aku segera menariknya kembali.

"Maaf... Aku ha-harus antar se-sendiri."

"Kau tidak mempercayai ku!? Aku kerja di sini, aku bisa menyerahkannya. Kau itu cuma kurir jadi buat apa bertemu dengan pak Darwin? Mau cari muka? Oh aku tau, kau mau minta uang tips kan? Orang seperti mu mudah sekali di tebaknya."

"Mbak jangan seperti itulah bicaranya, siapa tau adik ini kenal dengan pak Darwin dan ada hal yang mau di sampaikan." Bela security itu. Aku bersyukur setidaknya ada orang baik yang akan membantu ku, rasa takut ku kepada wanita itu tidak akan berlebihan.

"Apa sih pak, udah bapak bantu saya aja ambil tas itu dan usir anak ini. Aku bisa kasih dia uang tips sebagai gantinya, berapa yang kau inginkan? Seratus ribu? Tiga ratus ribu? Cepat katakan, lalu pergi dari sini jangan ganggu kami yang sedang bekerja!"

Aku mengambil nafas dalam dalam, aku menatap wanita itu dengan tajam. "Aku tidak butuh uang recehan itu! Aku bisa kasih mbak lima juta atau mungkin sepuluh juta kalau mbak mau menunjukkan pada ku dimana ruangan kak Darwin atau kak Delvin berada!" Entah keberanian dari mana aku bisa mengatakan itu dengan lancar tanpa gagap, bahkan rasa takut ku hilang dan tergantikan dengan rasa kesal.

"Apa? Lima juta? Sepuluh juta? Kurir seperti mu mau kasih aku segitu banyak nya? Uang dari mana itu? Apa kau pencuri? Kurir seperti mu jangan kebanyakan berkhayal punya uang banyak!"

"Aku heran, bagaimana bisa orang tidak berpendidikan seperti mu bisa kerja di kantor ini!? Lebih baik aku meminta kak Arley untuk memecat mu, kau tidak pantas menginjakkan kaki di perusahan ini!"

"Plaaak...." Wanita itu menampar ku dengan sangat keras. Dan entah sejak kapan orang orang di sekitar memperhatikan ku dengan wanita sialan ini, sehingga lobby menjadi ramai.

"Hoiii... APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN, HAH?!!!"

Junior (Ended)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang