19. Lamaran

112 11 0
                                    

Lena mengerutkan kening dengan wajah bingungnya. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam mulutnya, ia menggunakan jari telunjuk dan jempolnya untuk menyentuh sebuah benda tersembunyi dalam sesendok kue yang dimakannya.

Benda itu adalah sebuah cincin dengan sebuah permata berwarna merah mengkilat di atasnya.

"Restu, apa ini?" tanya Lena menunjukkan cincin itu kepadaku.

"Itu cincin, Len," jawabku singkat.

"Aku tau ini cincin, Restu. Yang kutanyakan adalah maksudmu." Lena membetulkan ucapannya.

"Kamu berpikir aku punya maksud tersembunyi?" Aku bertanya balik.

"Siapa tau saja, kan? Lagipula ulang tahunku sudah lama berlalu. Kurasa tidak ada yang perlu dirayakan apalagi sampai memberi hadiah seperti ini." Lena menjelaskan.

Aku hanya diam dengan senyuman yang mengembang.

Tanganku terulur meraih kedua tangan Lena lalu mengambil sebuah cincin yang dipegangnya.

Aku mengambil alih cincin itu, berbalik aku yang menunjukkannya di hadapan Lena.

"Len, ini bukan hadiah, bukan pula untuk merayakan sesuatu." Aku berucap dengan Lena yang masih memperhatikanku saksama.

"Maksudnya?" tanya Lena yang tidak mengerti.

"Cincin ini melambangkan perasaanku padamu," kataku lagi.

Cincin ini sudah kupersiapkan dari tabunganku yang lama. Sengaja membeli cincin dengan ukuran kecil tetapi memiliki mata kristal merah yang terbuat dari berlian murni.

"Restu." Lena tak berkomentar apapun selain hanya bergumam dengan menyebut namaku dan menunggu maksudku selanjutnya.

"Len, cincin ini adalah sebuah permintaan dariku," lanjutku.

"Permintaan?" Lena bertanya mengulang dan aku mengangguk.

"Lena punya dua pilihan, jika Lena setuju maka aku akan memakaikan cincin ini di jari manismu. Tapi jika Lena menolak, aku akan membuangnya," jelasku.

Lena terkekeh pelan. "Restu, kamu ini kalau ingin mengatakan sesuatu ya katakan saja. Jangan berbelit karena aku sudah penasaran."

"Len ...." Aku sengaja menggantung ucapanku.

"Iya?" Lena yang sudah tak sabaran keningnya jadi berkerut dalam.

Sesaat menelan ludah lalu kembali berucap,
"Maukah kamu mendampingi hidupku?"

"Restu?" Lena sepertinya tidak paham.

Aku memilih kalimat yang lebih baik, lebih panjang dan kurasa cukup untuk menjelaskan isi dan maksud hatiku saat ini.

"Aku tak bisa menjanjikan apapun tetapi niatku adalah suatu kesungguhan, cintaku adalah suatu ketulusan, dan kebahagiaanmu bagiku adalah keharusan." Aku kembali menjelaskan. "Len, aku akan berusaha untuk membahagiakanmu."

Lena berkaca-kaca, "Restu, aku masih tak mengerti dengan ini."

"Maukah kamu mendampingiku, Lena? Menjadi pendamping hidup dalam status istri dan ibu dari anak-anakku?" tanyaku.

Lena terkejut, membulatkan mata dengan mulut menganga. Detik berikutnya, ia telah meneteskan air mata. Hanya setetes pada awalnya tapi kemudian air mata Lena semakin deras hingga ia terisak.

Aku hanya diam, membiarkan Lena bisa menenangkan dirinya sendiri. Lagipula aku sedikit tak mengerti dan tidak dapat menebak bagaimana perasaan Lena saat ini.

Karena itulah, yang kulakukan hanya menunggu dengan harapan dan sabar untuk jawaban yang akan Lena berikan.

.
.
.
To Be Continued~

Dikit lagi end 🤗
Sampai jumpa di chapter berikutnya 🤗

Sweet As Chocolate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang