Pintu keluar lobi terlihat heboh dari pada biasanya. Tidak heboh juga, sih. Hanya saja Pak Dendi yang sedang bertengkar dengan Bella menjadi bahan tontonan banyak karyawan. Terlebih lagi ada Lena di antara mereka.
Aku lihat dari kejauhan Bella mengeluarkan kata-kata dengan bertenaga, tangannya tak henti-hentinya menunjuk Lena yang berdiri di samping Pak Dendi.
Tidak terima orang yang kucintai menjadi bahan tontonan, aku pun keluar melalui pintu lobi dan berdiri di antara mereka bertiga.
"Abang tuh jahat, ya, padahal udah janji sama Bella tapi kenapa masih mesra dengan perempuan ini?" Bella berteriak kesal.
"Abang tidak mesra, Bel," sanggah Pak Dendi.
"Terus kenapa Abang mau pergi berdua sama dia?" Bella bertanya dengan intonasi yang masih tinggi seperti tadi.
"Bella, maaf ya kalau aku membuat kamu tidak nyaman. Aku tidak tau kalau kamu ada hubungan dengan Pak Dendi dan aku juga tidak ada maksud apa-apa." Lena menjelaskan tapi Bella yang tersulut emosi itu tak mau untuk mendengar.
"Alasan!" ketusnya cepat.
"Pak Dendi menawarkan akan mengantar pulang karena aku tidak membawa kendaraan sendiri. Hanya sebatas itu dan kami berdebat kecil karena tadi aku menolak tawaran Pak Dendi." Lena kembali menjelaskan.
Bella sepertinya sudah tak bisa berpikir sehat. Mau dijelaskan seperti apapun, ia tetap memasang wajah marah dan menatap Lena tak suka.
"Wanita pelakor!" Bella mengumpat lalu mengangkat tangannya bersiap untuk menampar Lena.
Tamparan itu tak terjadi karena aku segera menahannya. Mereka bertiga terlihat sama terkejutnya, mungkin karena mereka terlalu sibuk cekcok sehingga tak menyadari bahwa aku sudah di dekat mereka sejak tadi.
"Dia bukan pelakor, dia kekasih aku!" tegasku penuh penekanan di hadapan Bella.
Aku melepaskan tangan Bella, membiarkan ia terbungkam dan mengelus pergelangan tangannya yang mungkin sakit akibat kucengkeram erat. Kemudian aku membalikkan badan, menatap Lena dan Pak Dendi secara bergantian.
"Maaf, Pak Dendi, saya sudah ada janji dengan Restu dan kami akan pulang bareng," kata Lena pada Pak Dendi.
Aku terdiam, sedikit terkejut mendengarnya. Namun, aku tahu pasti Lena mengatakan hal itu demi menghindar dari pertikaian tidak jelas ini.
Sesaat aku merasakan jantungku yang berdegup tidak tenang. Kembali terbayang ucapanku pada Bella yang mengklaim bahwa Lena adalah kekasihku.
Aku memang menekankan hal itu tapi ucapanku tak terlalu keras. Aku cemas kalau-kalau Lena mendengarnya dan merasa tak suka akan hal itu. Apa yang aku katakan murni karena mau menghentikan pertikaian di antara mereka dan Bella jadi berhenti mengatakan yang tidak-tidak terhadap Lena. Itu saja, meskipun di balik kalimat itu pula menyimpan harapan yang besar perihal Lena yang menjadi kekasih.
Ah, aku terlalu banyak bermimpi. Aku pun geleng-geleng kepala pelan untuk mengenyahkan pemikiran tersebut dari otakku.
"Benarkah?" Pak Dendi menyahut tak percaya.
"Iya kan, Restu?" Lena balik bertanya padaku.
"T-Tentu saja!" jawabku seraya mengangguk dan melanjutkan, "Ayo, Lena. Nanti keburu malam."
Selesai berkata seperti itu, aku menarik lengan Lena tanpa aba-aba dan membawanya pergi menjauh. Pak Dendi dan Bella sama-sama hanya terdiam, membiarkan aku berjalan bersama Lena sambil bergandengan tangan.
To Be Continued..
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet As Chocolate [END]
RomanceBerawal dari rasa kagumku terhadap atasan di Divisi Pengembangan Bisnis tempatku bekerja. Banyak hal dari dirinya yang kusukai sejak pertama kali berjumpa. Wajah cantiknya, senyum manisnya, sikap ramahnya, dan betapa baik hatinya. Magdalena, atau ya...