Cukup lama Lena menangis. Pelan-pelan ia menggunakan punggung tangannya untuk mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
Beberapa kali menghela napas untuk menormalkan pernapasan dan menghentikan sesegukan yang ia alami.
Lena tersenyum manis sembari menatapku dengan serius. Aku menggenggam tangan kiri Lena, sedikit kuat karena aku teramat berharap dengan keputusan yang akan Lena ambil. Aku menunggu was-was akan jawabannya.
Sejak awal, kami menjalin hubungan memang dengan serius dan pasti akan menuju ke jenjang yang lebih tinggi lagi.
Tetapi bisa saja jawaban tidak akan Lena berikan dengan banyak alasan seputar kesiapan dan segala hal.
Meski begitu dalam hatiku yang terdalam sangat ingin Lena menerima lamaranku.
Aku ingin sesegera mungkin mengikat Lena agar tak ada lagi kejadian seperti Pak Dendi di masa lalu.
Dengan terikatnya Lena membuktikan bahwa wanita itu telah menjadi milikku sekaligus peringatan agar pria-pria yang memendam rasa pada Lena segera menyingkir.
"Aku ... sangat senang mendengarnya, Restu," kata Lena membuatku meneguk salivaku. Lena kemudian kembali berkata, "Aku masih tak menyangka kamu akan mengatakan hal itu hari ini."
Lena yang tak segera menjawab membuatku semakin merasa khawatir dan cemas. Jadi begini rasanya kalau pernyataan digantung-gantung? Seperti yang tadi ketika aku mengungkapkan lamaran dengan cara yang sama.
Jantungku berdegup kencang menungggu Lena yang sepertinya masih berpikir untuk merangkai kata-kata.
"Ini benar-benar mengejutkanku, Restu," ucapnya lagi dan aku masih diam tak menanggapi. Aku menunggu jawaban pasti dari Lena untuk saat ini.
"Tapi ...." Lena menjeda kalimatnya. Lena menunduk lalu mendongak lagi menatapku.
Sekali lagi, matanya basah dan berkaca-kaca. Lena seperti sedang menahan diri untuk tidak menangis kembali.
"Tapi apa, Len?" tanyaku tak sabar.
"Meski mengejutkan dan tiba-tiba, tapi ...." sekali lagi Lena menggantung ucapannya.
Aku benar-benar tak sabar hingga aku kembali menelan ludah.
"Tolonglah, Lena. Katakan sejujurnya dan jangan gantung aku lama-lama seperti jemuran di musim dingin." Aku hanya menyerukan kalimat itu dalam pikiranku akibat ketidaksabaranku saja.
Semakin Lena menggantung kalimatnya dan semakin lama ia membuat keputusan pasti, maka rasa cemas, khawatir sekaligus berharap hingga tubuhku gemetar pun akan semakin lama kualami.
"Tapi aku terlalu bahagia hingga tak bisa menolak," jelas Lena mengembangkan senyum di wajah cantiknya.
Mendengar jawaban tersebut, aku terharu hingga aku tersenyum begitu lebar dan beberapa kali salah tingkah akibat terlalu bahagia.
Aku tak henti-hentinya menuturkan kalimat terima kasih pada Lena yang telah menerima lamaranku.
Lena tersenyum, begitupun aku.
Degupan di dalam dadaku semakin menjadi-jadi. Gemetar di tubuh karena was-was sebelumnya telah berganti menjadi getaran bahagia.
Tanpa pikir panjang, aku meraih tangan kiri Lena lalu memasangkan cincin yang kupegang di jari manisnya.
Begitu pas dan cantik di tangan Lena. Kemilau cincin terlihat kontras di kulit putih mulus Lena.
Beberapa kali wanita yang sekarang sudah menyatakan menerima lamaranku itu memandangi cincin di tangannya dengan senyuman yang tak mau pudar.
Tak hanya aku yang berteri makasih, Lena pun menuturkan kata yang sama beberapa kali.
Dengan ini, aku mengikat Lena. Membuat wanita cantik di depanku menjadi milikku seutuhnya.
Meski hubungan yang kami jalin sebagai kekasih baru seumur padi, tetapi ke depannya akan berlangsung selamanya.
Sejak awal, rasa cintaku pada Lena semakin besar dari hari ke hari. Dan itu akan berlaku seterusnya.
Kisah cintaku dengan Lena berawal dari lamaran pekerjaan dan ditutup dengan lamaran pernikahan.
Rasanya manis, seperti coklat yang pertama kali kuberi.
.
.
.
THE END
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet As Chocolate [END]
RomansaBerawal dari rasa kagumku terhadap atasan di Divisi Pengembangan Bisnis tempatku bekerja. Banyak hal dari dirinya yang kusukai sejak pertama kali berjumpa. Wajah cantiknya, senyum manisnya, sikap ramahnya, dan betapa baik hatinya. Magdalena, atau ya...