15. Rasa Cinta

106 12 0
                                    

"Lena yakin mau diantar pulang?" tanyaku ketika kita sudah sampai ke tempat parkir di mana motorku bertengger di sana.

"Yakin. Memangnya kenapa? Apa Restu tidak mau mengantar aku pulang?" Lena bertanya balik.

"Bukan begitu, tapi aku tidak bawa mobil, loh," jawabku yang dibalas tawa kecil darinya.

"Memangnya kenapa?" kata Lena disertai pertanyaan.

"Cuacanya mendung, takutnya hujan. Maaf ya, aku tidak membawa helm," jawabku.

"Tidak masalah, kok." Lena menjawab singkat sembari tersenyum kecil.

Aku mendorong motorku sampai keluar dari deretan motor yang berjejer rapi. Setelah itu aku naik ke atasnya disusul oleh Lena yang juga naik membonceng di belakangku. Aku mengendarai motor, membawa keluar dari area parkir perusahaan sampai ke jalan raya.

"Lena, alamatnya di mana?" tanyaku saat kami masih di perjalanan.

Karena bisingnya suara kendaraan di jalan raya, Lena semakin mendekatkan posisinya. Ia menempelkan tubuhnya dan memeluk pinggangku dengan sebelah tangannya.

Dan saat Lena memposisikan dagunya di atas pundakku, dunia bagiku terasa terhenti. Laju motorku semakin melambat beriringan dengan jantungku yang semakin berdegup kencang.

Sengaja kulakukan dengan kecepatan seperti ini agar kita tak cepat sampai dan aku bisa menikmati momentum berdua lebih lama lagi.

"Jalan 9 Mawar nomor 31." Lena menjawab berbisik.

Tak ada percakapan apapun lagi selama perjalanan berlangsung. Hanya dalam hitungan tak sampai tiga puluh menit, motorku tiba di depan gerbang rumah Lena.

Sebuah rumah satu lantai sederhana dengan dominasi warna coklat tua. Tidak jauh beda dengan rumah yang kutinggali.

Lena pun turun dari motor, sebelum pergi ia menghampiriku terlebih dahulu dengan berdiri di sampingku. Karena aku masih bertengger di motorku sehingga aku harus menolehkan kepala untuk bisa bertatap muka dengannya.

"Restu, terimakasih, ya," katanya lembut.

"Iya, sama-sama. Lain kali kalau tidak bawa mobil sendiri, aku tidak masalah kok mengantar Lena."

"Terimakasih juga untuk coklat dan hadiahnya. Coklatnya enak, loh." Aku merasa jadi malu sendiri dengan ucapan Lena.

Untuk sesaat, aku menyadari satu hal. Pergelangan tangan Lena mengenakan jam tangan yang kuberikan.

Senyumku bertambah lebar dengan ribuan kupu-kupu yang mulai beterbangan di dalam perut. Sebisa mungkin aku menahan rasa bahagiaku dan menahan diri untuk tidak tertawa senang dan bangga.

"Jadi, bagaimana rasa coklatnya? Suka?" tanyaku lagi.

"Aku sangat suka, rasanya manis. Tapi ...." Lena memberi jeda dari ucapannya membuatku menunggu.

"Tapi apa?" Tak kunjung berbicara, aku memberi pertanyaan.

"Tapi ada rasa lain di dalam coklatnya." Ekspresi wajahnya berubah ketika mengatakan hal itu. Entahlah, aku tidak bisa mendeskripsikan raut macam apa yang ditampilkan. Yang jelas, aku mulai was-was melihat ekspresi Lena saat ini. Apa mungkin rasanya tidak enak? Atau kadaluarsa? Atau hal lainnya?

"Rasa apa?" tanyaku lagi dengan tatapan menyelidik ingin tahu.

"Rasa cinta."

Aku terkejut bukan main mendengar jawaban itu. Lena tersenyum lebar lalu mencubit lenganku dan berbalik badan, melangkah pergi menjauh dariku yang masih terdiam cengo dengan ucapannya tadi.

Mulutku menganga, tubuhku kaku, rasanya tubuhku seperti dipaku di tempat dan tak bisa ke mana-mana. Mataku bahkan masih enggan untuk mengalihkan perhatian dari siluet Lena yang sekarang tengah sibuk membuka gerbang rumahnya.

"Lena!" panggilku dan Lena pun menoleh.

"B-Bolehkah aku mengajakmu ...." Aku menghentikan ucapanku sebentar karena merasa ragu dengan apa yang ingin aku katakan. Lena masih menatapku menunggu perkataan dariku. Hingga ketika keberanian diriku muncul, aku kembali lanjut bicara, "Bolehkah aku mengajakmu kencan?"

Sungguh, aku mendapatkan respon yang tak terduga. Lena tersenyum lebar dan menganggukkan kepala, mengangkat tangannya lalu menempelkannya di telinga.

Ia berkata sangat pelan hingga aku tak bisa mendengarnya. Tetapi dari gerakan mulutnya aku mengerti bahwa ia berkata, "Hubungi aku."

Aku tertawa nyaring dan spontan mengepalkan tangan lalu meninju udara ke atas bersamaan dengan Lena yang sudah masuk melalui gerbang rumahnya.

"Yes!" seruku lalu menancap gas motorku.

Aku benar-benar tak bisa mendeskripsikan betapa bahagianya aku kali ini. Betapa lancarnya pendekatanku dengan Lena dan aku teramat bersyukur, betapa baiknya Tuhan padaku. Menciptakan Lena, mengenalkan ia padaku, dan membuatnya lebih dekat denganku.

To Be Continued..

.
.
Tinggal dikit lagi bakalan tamat nih..

Cerita ini memang aku buat minor konflik dan lebih fokus ke sweet love nya Restu sama Lena. Menurutku sih segini udah sweet gak tau menurut kalian guys. Maklum lah author nya belum berpengalaman dalam hal romansa.

Thanks banget buat dukungan dari kalian sampai detik ini.
Thanks udah baca ceritaku..
Dan sampai jumpa di chapter berikutnya..

Sweet As Chocolate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang