12. Rencana Buruk

94 13 0
                                    

Kesibukan berjalan seperti biasa. Meeting rutin, mengerjakan laporan, dan membuat rekapan hasil perkembangan bisnis dalam sebulan. Tak ada yang berbeda, terlebih setelah penyemangatku tak lagi berada di ruang yang sama.

Usai menyelesaikan pekerjaan, aku merapikan meja kerjaku lalu memasukkan beberapa dokumen ke dalam laci.

Aku teringat akan sesuatu. Kubuka kembali laci kedua di mejaku, mengecek sekotak coklat yang rupanya masih bertengger nyaman di dalam sana.

Sayang sekali, aku saat itu mundur dan memilih tak memberikannya kepada Lena. Tetapi ketika aku teringat pada ulang tahun Lena, niatanku untuk memberinya coklat pun kembali bangkit.

Kuletakkan sekotak kado yang sudah kupersiapkan di samping coklat itu lalu menutup kembali laci mejanya.

"Ayo cepat! Nanti warungnya tutup," teriak Chairil dari pintu keluar.

Aku dan Chairil memang sudah membuat janji untuk makan di luar ketika jam istirahat pertama. Dan Chairil saat ini sudah mengetuk-ngetuk jam tangannya sebagai isyarat bahwa aku terlalu memakan durasi yang lama.

Aku pun tertawa kecil lalu menghampirinya, berjalan di sampingnya sampai ke dalam lift. Aku dan Chairil saling memainkan ponsel masing-masing ketika di dalam lift, sampai kita tidak memperhatikan dua orang laki-laki yang ikut masuk dan berdiri di depan kami.

"Jadi, sebenarnya siapa yang kamu taksir? Bella atau Lena?" Aku tersentak kaget mendengar nama Lena disebut-sebut.

Tidak hanya aku, Chairil pun ikut mendongak. Kami tidak tertarik lagi dengan ponsel dan justru menguping pembicaraan dua laki-laki di hadapan kami. Yang satunya lagi adalah Pak Dendi. Yang memberi pertanyaan tadi adalah teman Pak Dendi.

"Dua-duanya." Dengan santainya Pak Dendi menjawab.

Teman di sampingnya itu tertawa pelan, "Serakah sekali kamu, Den."

"Aku akan menyatakan cinta pada keduanya. Kalau Bella dan Lena sama-sama menerima, ya, aku akan merasa amat beruntung." Tanganku terkepal kuat mendengar rencana busuk Pak Dendi.

Kebaikan dan perhatiannya selama ini pada Lena ternyata mengandung niatan busuk di dalamnya. Lena yang begitu baik tidak boleh sampai menjadi mangsa Pak Dendi.

"Kalau ternyata salah satunya menolak?" Teman Pak Dendi kembali bertanya.

"Ya, biarlah. Yang penting salah satunya harus kudapatkan," jawab Pak Dendi santai.

"Kalau begitu perkenalkan aku dengan salah satu dari wanita itu, ya," pinta temannya sambil menyenggol lengan Pak Dendi.

"Haha! Aku tak yakin. Bella sepertinya sudah jatuh dalam pesonaku tapi tidak dengan Lena. Entah kenapa sikapnya tak ada yang berubah meski aku merayunya dengan berbagai macam cara." Pak Dendi bercurhat.

"Mungkin dia tidak mencintaimu, Den." Temannya menanggapi.

"Entahlah, tapi coba saja dulu. Siapa tau ketika ditembak, Lena justru menerimanya," kata Pak Dendi dan mereka berdua saling tertawa sambil melangkah keluar ketika pintu lift terbuka.

Di kejauhan, aku melihat Lena sedang berdiri dan Pak Dendi sepertinya berjalan untuk menghampirinya. Entah apa yang terjadi denganku, tubuhku bergerak begitu saja. Berjalan mengekor Pak Dendi yang keluar dan meninggalkan Chairil begitu saja.

"HOI! INI BUKAN LANTAI SATU!" Teriakan Chairil menggema tapi kuabaikan.

Aku tetap mengekori Pak Dendi sampai akhirnya ia benar-benar berhadapan dengan Lena. Aku berdiri di belakang Pak Dendi menunggu apa yang akan ia perbuat selanjutnya.

"Lena, sekarang jam berapa?" Pak Dendi bertanya.

"Jam dua belas, Pak." Lena langsung menjawab.

"Tau artinya jam dua belas apa?" tanya Pak Dendi entah dengan maksud apa.

Lena menggeleng terlebih dahulu lalu berkata, "Enggak tau, Pak. Kenapa?"

"Kalau jam 12 artinya kesiangan, tapi kalau Lena kesayangan." Lena hanya terkekeh kecil mendengar gombalan jadul dari Pak Dendi.

Sementara aku yang mendengar itu merasa mual dan akhirnya memilih untuk berada di antara mereka. Aku ikut menghampiri Lena, berdiri di sampingnya lalu menarik bahunya agar ia berhadapan denganku.

"Restu, ada ap–" Ucapan Lena terhenti ketika aku menggenggam tangannya begitu erat dan memasang ekspresi serius serta menatap tajam ke kedua bola matanya. Lena mungkin merasa aneh dengan tindakanku sekarang tapi kurasa itu perlu.

"Aku merindukanmu, Len," ucapku pelan. Niat awalnya aku tidak mau berkata demikian. Tapi entah mengapa justru kalimat itu yang keluar dari mulutku secara spontan. Pengakuanku barusan justru membuat Lena terdiam dalam keadaan tertunduk.

Aku pun melanjutkan, "Len, laki-laki yang baik dari luar belum tentu baik juga hatinya. Jangan hanya melihat dengan mata, tapi lihat juga dengan hatimu."

"M-Maksud Restu apa?" Lena bertanya dengan gugup.

"Tidak apa-apa. Aku hanya rindu sama kamu. Maaf ya, ucapanku jadi kemana-mana," kataku sambil tersenyum.

Lena tersenyum canggung lalu menjawab,
"A-Aku juga rindu Restu, kok."

Kalimat yang dilontarkan Lena cukup membuatku terkejut hingga mataku membola.

"Ah, kalau begitu aku pergi dulu. Chairil sedang menungguku di bawah," pamitku ketika teringat dengan Chairil yang tadi kutinggalkan.

"Bye," Lena berkata dengan sangat pelan.

Aku tak menjawab apapun dan hanya mengusap rambutnya lembut sebelum akhirnya pergi kembali ke lift dan turun ke lantai satu.

Di samping kursi lobi, Chairil berdiri dengan berkacak pinggang. Sepanjang perjalanan menuju warung, ia terus mengomel tentang aku yang meninggalkannya tanpa ijin dan membuatnya menunggu.

Tapi omelannya berakhir ketika mulutnya telah tersumpal dengan makanan yang ia pesan.

.
.
.
.
To Be Continued..

Sweet As Chocolate [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang