Kota Seoul yang tidak pernah lengang. Trotoar jalan dipenuhi lalu lalang orang, baik yang akan menimba ilmu maupun yang akan menimba rejeki.
Aku duduk terpaku, memadang orang yang bergerak cepat, mengejar tujuan mereka, di tengah matahari yang mulai memancarkan sinarnya.
"Jeongwoo, aku sangat bersyukur bisa berangkat sekolah bersamamu," ucap Woojin, kakakku satu-satunya, yang saat ini dalam posisi duduk di sebelahku. Mobil pribadi keluarga yang kami tumpangi, terhenti akibat lampu lalu lintas yang menampilkan warna merah.
Aku pun tersenyum untuk membalas ucapannya.
Sepertinya Jeongwoo dan kakaknya sangat dekat.
Ketika mobil kami mulai melaju, Jeongwoo kembali mengedarkan pandangan keluar dan menatap gerombolan remaja yang memasuki sebuah pusat game.
Apakah kenakalanku setingkat mereka atau lebih hingga mendapat misi ini? Sayang sekali, Tuhan hanya memberiku ingatan ketika malaikat menjatuhkan hukuman padaku, batinku dalam hati.
Di tengah perjalanan, aku mencoba menanyakan satu hal pada kakak.
"Hyung, bisakah kamu menceritakan seperti apa diriku dulu?" ucapku serius.
"Kenapa menanyakannya?" ucap Woojin.
Aku pun terdiam sejenak.
"Supaya─ aku bisa bersikap seperti Jeongwoo yang selama ini hyung kenal," ucapku.
Woojin tersenyum, mengusak rambutku lembut dan berkata, "Tidak perlu menjadi Jeongwoo yang dulu. Jadilah Jeongwoo seperti yang kamu inginkan karena apapun sikapmu, aku akan tetap menyayangimu sebagai adikku."
Aku pun sedikit tersenyum mendengarnya.
Keluarga ini─ terlalu manis─ sangat tidak nyata.
.
.
.
"Terima kasih, Pak Kim," ucap Woojin sambil membungkukkan badan kepada supir kami sebelum keluar dari mobil.
Aku pun tertegun melihat sikap kakak.
Tak kusangka orang kayapun bisa bersikap hormat kepada orang yang bekerja untuknya.
Ketika kami sama-sama keluar dari mobil dan berjalan beriringan, kutangkap dari jauh sosok pemuda yang sangat kukenal.
"Hyung, duluan ya," ucapku sambil berlari ke arah pemuda tersebut. Pemuda yang berjalan dengan sorot mata tidak lepas dari ponsel di gengamannya.
"Secantik apa sih sampai jalanpun melihat handphone terus?" ucapku sambil merebut paksa ponsel di tangan pemuda tersebut.
"Jeongwoo-ya!!!!" teriak Haruto, pemuda tersebut kesal, dan berusaha mengambil kembali ponselnya tetapi gagal.
"Keluargamu ingin pindahan? Kenapa melihat-lihat rumah?" ucapku yang pada akhirnya mengembalikan ponsel milik Haruto.
"Tidak. Aku hanya suka saja melihatnya," ucap Haruto dan kemudian meletakkan ponselnya di saku.
"Apa kamu ingin menjadi arsitek?" tanyaku kembali.
Haruto terdiam sejenak, "Sejujurnya aku masih bingung mau menjadi apa nantinya."
Aku langsung mendengus kesal. "Permasalahan klasik anak-anak pintar," ucapku sewot.
"Kamu mengejekku?" ucapnya kesal dimana aku tidak menjawab dan berjalan lebih cepat, meninggalkannya, menuju ke kelas.
.
.
.
"Selamat pagi, semuanya. Saya harap pagi ini kalian memiliki stamina tinggi untuk mengikuti pelajaran saya," ucap Bu Dara yang dibalas dengan hembusan nafas berat dari kebanyakan murid. Bagaimana tidak, jam pagi mereka yang berharga harus diisi dengan memahami rentetan angka yang sangat amat membosankan.
"Kenapa ekspresi kalian seperti itu? Ayo semangat, kita mulai pelajarannya," ucap Bu Dara sambil mengetuk-ngetuk mejanya dimana aku langsung merebahkan kepalaku di meja.
Terima kasih Al-Khawarizmi, kamu berhasil membuat kehidupan remaja seluruh dunia menderita untuk memahami penemuanmu, ucapku dalam hati.
Di saat aku sudah hampir terjaga, tiba-tiba seseorang menepukku dari belakang. Saat aku sudah hampir memarahinya, pemuda itu, Haruto menujuk papan tulis dimana tertulis tugas kelas yang harus dikerjakan sekarang.
Kubuka buku matematika dengan malas. Mataku langsung perih melihat soal-soal yang sangat amat tidak kupahami.
Berikan bukumu padaku.
Tiba-tiba aku mendengar suara pelan yang kutahu dari siapa.
Akupun lantas memberikan bukuku dimana Haruto menukar dengan bukunya. Ketika kubuka, buku tersebut sudah penuh dengan coretan jawaban dari setiap soal yang ada.
Tanpa pikir panjang, aku langsung menyalin seluruh jawaban tersebut. Dan alhasil, kembali, aku selamat dari tugas menyebalkan ini.
.
.
.
"Kamu tidak usah repot-repot memberikan jawaban padaku, Rutoya," ucapku sambil menukar bukuku yang berada di mejanya dengan bukunya yang kupegang.
"Jeongwoo, apa tidak ada sedikitpun keinginanmu untuk belajar dengan baik? Kulihat kamu selalu menyepelekan pelajaran. Ini tidak akan baik untuk masa depanmu," ucap Haruto panjang lebar.
Aku tertawa kecil mendengarnya.
Yang berguna untuk masa depanku hanyalah tidak absen menjadi stuntman mimpi selama sebulan, batin Jeongwoo.
"Jongu─" tiba-tiba kudengar teriakan seseorang di pintu kelas dan 2 orang lainnya yang melambaikan tangan padaku.
"Kamu mau ke kantin?" tanyaku pada Haruto dan dibalas dengan gelengan kuat darinya.
Melihat Doyoung yang akan keluar kelas, aku langsung menahan tangannya, "Tolong belikan Haruto roti dan jus. Kamu paham kan maksudku?"
Doyoung yang mendengar permintaanku mengangguk dengan cepat dan bergegas keluar kelas.
"Anggap saja makanan yang dibawa Doyoung adalah tanda terima kasihku untuk jawaban tugas tadi. Awas kalau tidak dimakan," ucapku sambil menghampiri Jihoon, kakak kelas yang meneriakiku dari luar.
Jeongwoo-ya
Gumawo
Chingu
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Next Chapter:
"OK. Akan kujadikan kamu superhero hari ini,"ucap Jeongwoo dengan percaya diri
KAMU SEDANG MEMBACA
[Park Jeongwoo - Treasure] Stuntman in Your Dream
Fanfic**Completed** Koo Jun-hoe adalah pemuda yang memiliki catatan kejahatan beruntun. Sayangnya, nasib sial mengakibatkannya meninggal dunia seketika. Ketika ia diperhadapkan pada penentuan akhir hidupnya, Tuhan memberinya kesempatan untuk menebus sedik...